Indonesia negara dengan segala keanekaragaman budaya, ras, suku, bangsa yang tidak ternilai harganya, seluruhnya merupakan warisan budaya yang harus dijaga sebagai identitas penting suatu bangsa. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri, tak hanya bahasa akan tetapi juga kuliner kini telah menjadi pasar empuk untuk menggembleng potensi pariwisata. Belakangan ini pemerintah juga telah memfokuskan promosi destinasi wisata beragam. Tak hanya potensi wisata alam tapi juga berupa wisata kuliner yang disajikan sebagai pelengkap paket turis lokal hingga internasional.
Nusantara pun terkenal dengan ragam kuliner yang mendunia. Salah satu provinsi yang berhasil menjadi salah satu daerah percontohan kuliner terkenal adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Siapa yang tak kenal gudeg? Masakan yang berasal dari Yogyakarta ini, menjadi salah satu identitas khas yang tertulis dalam perjalanan sejarah dan tumbuh tak terpisah di tengah kehidupan masyarakatnya.
Seperti yang pernah dikatakan Chris Baker, identitas stabil jarang dipertanyakan, mereka hadir sebagai sesuatu yang alami dan diterima begitu saja. Seperti itulah kuliner khas, gudeg. Gudeg sendiri berasal dari istilah bahasa Jawa hangudek artinya 'proses mengaduk'. Makanan yang dimasak dengan cara mirip bacem dan diberi areh (kuah santan kental). Rebusan daun jati dan gula jawa menambah warna dan rasa yang khas. Gudeg juga terkenal memiliki rasa yang manis.
Menurut beberapa masyarakat Jogja sendiri, gudeg berfungsi tidak hanya sebagai kuliner khas tapi juga sebagai comfort food, yaitu makanan yang hanya menjadi bagian dari pemuas keinginan saja dan tidak memiliki fungsi kesehatan atau gizi, disisi lain karena makanan ini kehilangan banyak nutrisi akibat pemanasan berulang-ulang.
Dalam kekhasan kuliner nusantara, setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing-masing. Jogja sendiri terkenal dengan makanannya yang cenderung memiliki rasa manis yang kuat. Tidak hanya gudeg sebagai kuliner khasnya, akan tetapi juga rata-rata masakan jogja yang manis, baik masakan rumah ataupun warung-warung di jogja. Bahkan belakangan ini industri pariwisata Jogja pun difokuskan pada pada perkembangan potensi kulinernya.
Berbicara tentang kuliner dan pola makan, kita tidak akan jauh dari kondisi kesehatan masyarakat Jogja yang saat ini menempati tiga besar provinsi dengan prevalensi diabetes melitus tertinggi di Indonesia (Riskesdas, 2018). Hal ini didasarkan pada jumlah diagnosa dokter pada penduduk umur >15 tahun menurut provinsi antara 2013 -- 2018. Posisi pertama ditempati oleh ibukota negara, DKI Jakarta, sebesar 3,4% kemudian disusul Kalimantan Timur di posisi runner up.
Lebih dari 90% provinsi mengalami peningkatan penderita diabetes melitus, Indonesia sendiri meningkat hingga 2% dalam rata-rata nasional. Diabetes sendiri terdapat dua tipe, yang salah satunya disebabkan oleh kebiasaan makan yang salah, yaitu berlebihan dalam mengkonsumsi gula setiap harinya. Hal ini kemudian yang disoroti dari kebiasaan masyarakat Jogja yang cenderung suka mengonsumsi makanan yang manis.
Sebuah penelitian menyebutkan lebih dari 50% penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mempunyai kebiasaan mengkonsumsi gula yang berlebih. WHO sendiri merekomendasikan asupan gula agar tidak melebihi 50 gr/4 sdm setiap orang per harinya.
Selain kadar gula yang berlebih dalam tubuh pola hidup yang kurang sehat juga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes melitus tipe 2. Kebiasaan makan sering dikaitkan dengan risiko penyakit NCD (Non Communicable Disease), seperti stroke, penyakit jantung, hipertensi, hingga menyebabkan kematian.
Jika dilihat data prevalensi diabetes provinsi Yogyakarta juga mengalami peningkatan. Hasil STP (Surveilan Terpadu Penyakit) pada beberapa puskesmas di DIY menyebutkan bahwa diabetes menempati lima besar dari penyakit yang berpotensi menjadi wabah, yaitu hipertensi, diare, influenza, dan DM. Selanjutnya, diperoleh kasus DM baru sejumlah 9.473 kasus.Â
Kebiasaan konsumsi makanan manis juga turut menyumbang asupan gula terutama di beberapa masakan asli Jogja. Bahkan sebagai mahasiswa yang kuliah 4 tahun di Jogja, belum pernah menjumpai masakan asli Jogja yang selain dominasi rasa manis. Sehingga bisa disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kebiasaan makan dengan risiko kesehatan masyarakat pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H