Mohon tunggu...
Adib Achmadi
Adib Achmadi Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Institut Harkat Negeri

Adib Achmadi. Lahir di Ngawi 17 Januari 1969. Pegiat Sosial di Padepokan Kalisoga, Slatri Brebes

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Efektivitas Pendidikan dan Pandemi

1 September 2020   07:33 Diperbarui: 1 September 2020   07:27 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah suatu saat seorang kawan mempertanyakan efektifitas pelajaran agama.  Ia menilai matapelajaran  agama  tidak efektif. Indikatornya sederhana, tawuran dan berbagai kenakalan pelajar terus berlangsung.  

Saya tak menolak penilaian itu. Justru saya ingin menambahkan. Jika indikatornya seperti itu banyak dari mata pelajaran sekolah yang tidak efektif. PKN tidak membuat siswa menjadi lebih nasionalis dan lebih memiliki kepedulian terhadap negara  dan bangsa.

Pelajaran Bahasa (Indonesia, Inggris, Daerah) juga tidak membuat siswa memiliki kemampuan menulis dan berbahasa lebih lancar. Mata pelajaran Bahasa Inggris dari SD hingga perguruan tinggi tak banyak menolong kecakapan berbahasa internasional itu.

Daftar ketidakefektifan bisa diperpanjang untuk mata pelajaran lain, misalnya seni, olah raga, bahkan sain dan matematika. Untuk sain dan matematika, capaian sekolah kita dalam survei internasional (PISA) terbilang rendah di dunia. Sekolah kita masuk dalam kuadran rendah penilaian.

Jika keadaannya demikian, maka yang tidak efektif bukan hanya mata pelajaran agama, melainkan hampir seluruh mata pelajaran. Dan itu juga berarti efektifitas pendidikan kita sedang menghadapi masalah, kalau tidak boleh dibilang masalah besar.    Lantas bagaimana hal ini bisa terjadi?

Salah satu faktor penyebabnya menurut saya adalah, bahwa kerja pendidikan secara umum belum dimulai di sekolah. Dinamika sekolah cenderung berorientasi pada penguasaan pengetahuan (mapel) dan belum menyentuh sistem perilaku. Dari sisi penguasaan materi, dinamika belajar di sekolah masih mengalami kendala lantaran minimnya metode dan pendekatan.  Kegiatan belajar mengajar cenderung monoton dan sangat bertumpu pada guru.

Sedangkan proses pembentukan sistem perilaku salah satunya adalah membentuk  watak pembelajar. Proses ini relatif kurang berjalan di sekolah. 

Siswa bukan hanya diajar agar  bisa sain misalnya, tapi yang lebih utama adalah dibangun rasa keingintahuan yang besar terhadap sain dan punya gairah dalam belajar serta semangat menemukan jawaban atas masalah sain dengan berbagai cara. Perilaku pembelajar mempunyai semangat kemandirian dalam belajar dan menempatkan guru hanya satu sumber pengetahuan.  Inilah salah satu inti pendidikan yang belum  menjadi warna sekolah.

Ketidakefektifan pendidikan di sekolah, utamanya masa pandemi, membuat proses belajar mengajar mandiri di rumah menjadi serasa gelap. Ketergantungan terhadap guru membuat kegiatan belajar cenderung macet. Sementara belajar mandiri yang penuh  inisiatif dan kreatif cenderung tidak berkembang karena memang tidak biasa dan tidak dibiasakan.

Àkhirnya, pandemi  memberi pelajaran berharga  bahwa kemandirian belajar  yang berjiwakan watak pembelajar adalah hal penting dan mutlak, karena disitulah inti pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun