Aku menemukan langit di bawah kasurku pagi ini.
Aku tahu, ini terdengar seperti omong kosong, tapi aku bersumpah, aku melihatnya sendiri. Bukan langit-langit kamar yang catnya mulai mengelupas atau langit biru yang biasa kita lihat di luar jendela. Ini adalah langit yang sesungguhnya---lengkap dengan awan yang melayang pelan, burung-burung kecil yang berkicau, dan matahari yang tampak jauh lebih kecil daripada biasanya. Langit itu ada di bawah kasurku, seperti sebuah dunia kecil yang terselip di antara debu dan kotak sepatu lama.
Aku pertama kali menyadarinya ketika sedang mencari kaus kaki. Kaus kaki itu, entah kenapa, selalu lenyap ketika aku benar-benar membutuhkannya. Jadi aku jongkok, mengintip ke bawah kasur, berharap menemukan kaus kaki belang-belangku yang hilang. Tapi yang kutemukan malah pemandangan aneh itu. Langit kecil yang membentang, seolah-olah kasurku adalah gerbang ke dimensi lain. Aku tertegun. Tanganku berhenti di udara, setengah jalan menuju sebuah sandal jepit yang tergeletak di sana, sebelum aku menyadari bahwa aku sedang menahan napas.
Aku mencoba menjelaskan ini pada diriku sendiri. Mungkin aku kurang tidur. Mungkin ini efek samping dari kopi sachet yang kuminum tadi malam---yang, jujur saja, rasanya lebih seperti larutan kimia daripada minuman manusia. Tapi, tidak ada teori logis yang cukup masuk akal untuk menjelaskan bagaimana bisa ada langit di bawah kasurku. Aku bahkan sempat menggosok mataku, mencoba memastikan aku tidak sedang berhalusinasi. Tapi tidak, langit itu tetap ada di sana, bergerak pelan-pelan seperti video slow motion yang diputar ulang terus-menerus.
"Ini pasti semacam lelucon," pikirku. Tapi siapa yang cukup iseng untuk menyelipkan langit di bawah kasur seseorang? Teman-temanku? Tidak mungkin. Mereka bahkan terlalu malas untuk datang ke rumahku, apalagi menyusun lelucon serumit ini. Orang tua? Tidak mungkin juga. Mereka terlalu sibuk dengan urusan kantor dan cicilan rumah.
Aku menatap langit itu lebih lama, mencoba memahami detailnya. Awan-awan di sana bergerak, tapi tidak seperti awan yang biasa kulihat di atas kepala. Mereka lebih lembut, hampir transparan, seperti bayangan yang melayang. Burung-burungnya juga tidak seperti burung biasa. Mereka kecil, sangat kecil, mungkin seukuran kuku jariku. Dan mereka tidak terbang sembarangan. Mereka bergerak dalam pola, seperti tarian yang sudah mereka hafal sejak lama.
Aku mencoba menyentuhnya. Aku menyelipkan jari-jari tanganku ke bawah kasur, berharap merasakan sesuatu---angin, panas matahari, apa saja. Tapi yang kurasakan hanya udara dingin, seperti hawa dari kipas angin yang lupa dimatikan. Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Jari-jariku tidak berhenti di lantai. Mereka terus masuk, seperti menembus lapisan kasur yang seharusnya solid. Aku menarik tanganku dengan cepat, setengah takut apa yang akan terjadi kalau aku memasukkan seluruh tubuhku ke sana.
Tapi rasa penasaranku lebih besar daripada ketakutanku. Jadi, aku melakukan apa yang mungkin tidak akan dilakukan orang waras mana pun: aku merangkak masuk ke bawah kasur.
***
Langit itu ternyata jauh lebih besar dari yang terlihat. Ketika aku masuk, aku tidak lagi berada di kamarku. Aku berdiri di atas sebuah padang rumput yang luas, dengan langit biru membentang di atas kepala. Matahari kecil itu menggantung di langit, memberikan cahaya yang hangat tapi tidak menyilaukan. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga yang tidak kukenal. Aku menoleh ke belakang, berharap melihat kasurku, tapi yang ada hanya jalan setapak yang menghilang di balik bukit.
Aku berjalan perlahan, masih mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Langit ini---dunia ini---terasa nyata, tapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya terasa seperti mimpi. Warnanya terlalu cerah, terlalu sempurna. Bahkan rumput di bawah kakiku terasa lebih lembut daripada karpet di kamarku.