Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mike Tyson dan Pertarungan Melawan Waktu

18 November 2024   09:35 Diperbarui: 18 November 2024   09:36 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jake Paul memberi hormat kepada Mike Tyson sebelum bel akhir berbunyi di AT&T Stadium di Arlington,Texas, AS. Via aljazeera.com

Sebuah pertandingan tinju adalah kisah fisik. Tetapi malam itu, bagi Tyson, adalah lebih dari sekadar fisik. Ia telah lama menyadari bahwa tubuhnya tidak lagi sekuat dulu. Langkahnya mungkin tidak secepat bayangan "Iron Mike" dari masa muda, tetapi setiap gerakan memiliki gravitasi lain---kesadaran tentang kefanaan. 

Kita, para penonton, hanya melihat angka di papan skor. Kita mungkin mengukur pertarungan dari siapa yang lebih banyak mendaratkan pukulan. Tetapi apa yang sesungguhnya sedang terjadi adalah kisah tentang ketahanan manusia. Di balik semua pukulan yang dilayangkan Jake Paul, Tyson menyampaikan pesan tanpa kata: hidup adalah pertarungan yang tidak pernah selesai. 

Dalam pernyataan yang sederhana, Tyson menjelaskan mengapa ia ada di sana. "Aku tidak membuktikan apa-apa kepada siapa pun," katanya. "Aku melakukannya hanya untuk diriku sendiri." 

Kata-kata itu mungkin terdengar dingin, tetapi ada kejujuran yang nyaris menyakitkan di dalamnya. Tyson tidak peduli dengan pandangan orang lain. Ia tidak bertarung demi warisan, demi penonton, atau demi sejarah. Ia bertarung untuk merasakan, untuk ada, untuk memberi makna pada usianya yang terus bertambah. 

***

Ketika melihat Tyson malam itu, saya teringat sebuah foto lama. Sebuah gambar buram dari masa lalu, yang pernah muncul di media sosial bertahun-tahun lalu. Gambar itu, sama seperti Tyson di atas ring, tidak berusaha menjadi apa-apa selain dirinya. 

Foto itu, diambil saat saya masih kecil, memperlihatkan diri saya yang polos, duduk di sebuah kursi dalam ruangan gelap, mungkin di sela-sela sebuah acara seni di sekolah. Wajah saya tersenyum samar, tubuh kecil dalam balutan kemeja gombrong, dan sepatu yang saya bahkan tidak lagi ingat mereknya. 

Ketika saya pertama kali melihat foto itu lagi setelah bertahun-tahun, ada dorongan untuk tertawa. "Benarkah itu aku?" pikir saya. Tetapi semakin lama saya menatapnya, semakin saya sadar bahwa gambar itu adalah jendela kecil ke masa lalu, sebuah momen yang pada saat itu tidak terasa istimewa, tetapi kini memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. 

Mike Tyson di usia 58 adalah seperti gambar buram itu. Ia tidak mencoba menjadi heroik. Tidak ada upaya untuk menghidupkan kembali kehebatan masa lalu. Ia hanya hadir, mengingatkan kita bahwa setiap orang, pada akhirnya, hanya mencoba memberi makna pada hidup mereka---entah lewat pukulan di ring, entah lewat kenangan dari masa kecil. 

***

Ketika Tyson berkata bahwa semua gelarnya adalah "sampah," ia mungkin tidak bermaksud meremehkan apa yang telah ia capai. Sebaliknya, ia sedang mencoba memberi kita perspektif. Di usia hampir enam dekade, ia tahu bahwa dunia tidak akan peduli pada medali atau sabuk kejuaraan ketika kita sudah tiada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun