Mike Tyson kembali ke ring tinju. Itu adalah sebuah malam di Stadion AT&T, Texas, tempat seorang legenda menantang tubuhnya yang telah tua dan melawan nama besar yang terus membayanginya.
Usianya 58 tahun, 27 tahun lebih tua dari lawannya, Jake Paul, seorang petarung muda yang lebih dikenal sebagai selebritas daripada petinju. Dalam sebuah pertandingan yang digadang-gadang sebagai penutup karier panjangnya, Tyson tidak menang. Namun, seperti sebuah foto buram yang tiba-tiba hadir kembali, malam itu menjadi ruang refleksi bagi dirinya---dan mungkin bagi kita yang menyaksikan.
Di usia yang tak lagi muda, Tyson tidak masuk ring untuk menjaga warisannya. Tidak juga untuk memuaskan para penggemar yang mendambakan sebuah epik tinju terakhir. Ia masuk ke ring karena sebuah alasan yang begitu sederhana, nyaris banal: untuk dirinya sendiri.Â
"Apa peduli saya dengan warisan saya?" katanya di sebuah wawancara sebelum pertandingan. "Warisan terdengar seperti ego. Saya akan segera meninggal." Kalimat ini, diucapkannya dengan tenang, sebuah pengakuan yang tidak meminta belas kasihan, tetapi mengingatkan kita pada sesuatu yang sering kita lupakan: waktu tidak peduli pada manusia.Â
***
Malam itu, Tyson berdiri tegak di tengah sorak-sorai ribuan penonton. Stadion penuh, lampu-lampu gemerlap, dan kamera-kamera merekam setiap detik pertarungan. Namun, Tyson, dengan tubuh yang telah mengarungi puluhan tahun pertarungan, hadir bukan untuk dunia.Â
"Di usia 58 tahun, aku masih bisa menghasilkan $20 juta dalam beberapa menit," katanya tanpa ragu-ragu setelah pertandingan usai. Tidak ada upaya untuk membungkus malam itu dengan retorika pahlawan atau semangat olahraga. Tyson berbicara seperti seorang pria yang telah mengenal dirinya---dan dunia---dengan sangat baik.Â
Ia tahu bahwa hidupnya, dari gelar juara dunia hingga kejatuhan yang penuh skandal, tidak lagi membutuhkan pembenaran. "Semua gelar yang pernah kucapai? Itu sampah," ucapnya. Dengan kata-kata itu, Tyson menghancurkan narasi-narasi romantis tentang kemenangan dan kekalahan.Â
Namun, di balik keberanian itu, ada sesuatu yang lebih dalam: perjalanan melawan tubuhnya sendiri. Enam bulan sebelum malam itu, Tyson hampir meninggal. Delapan kali transfusi darah, kehilangan separuh volumenya, dan berjuang keras untuk pulih dari penyakit yang hampir merenggut nyawanya. Ketika ia berdiri delapan ronde melawan Jake Paul, ia sebenarnya sedang bertarung melawan batas tubuhnya sendiri, melawan waktu yang terus berdetak.Â
***