Di ruang-ruang kantor, di sudut pantry yang tak istimewa, kotak donat atau piza kerap muncul sebagai "ritual" kecil saat seseorang hendak mengucapkan selamat tinggal.
Tanpa ada aturan resmi, orang yang resign seperti mendapatkan undangan tak langsung untuk menyisihkan uang demi sepiring piza atau sekotak donat sebagai "tanda perpisahan." Tradisi ini tampak biasa saja.
"Traktiran perpisahan" sudah melebur dalam budaya kerja, seakan kebersamaan di kantor tak lengkap tanpa sejumput rasa dari makanan yang dibawa oleh mereka yang akan pergi.
Tapi, mari kita renungkan sejenak. Apakah traktiran ini benar-benar dibutuhkan untuk mengukuhkan kenangan?
Ataukah, mungkin, ada cara lain yang lebih bermakna---dan bisa dilakukan tanpa harus merasa terbebani oleh tuntutan sosial yang, sejujurnya, tak semua orang merasa nyaman memenuhinya?
Di banyak budaya, makanan memang dianggap media sosial yang kuat.
Penulis seperti Michael Pollan mengamati bahwa makanan tidak hanya sekadar konsumsi fisik, tetapi juga menjadi "bahasa" yang menyampaikan makna sosial tertentu---cara untuk merasa diterima, terhubung, bahkan untuk memberikan kehangatan dan afeksi.
Di banyak meja makan, orang terhubung lebih dari sekadar percakapan: mereka saling memahami lewat sepiring hidangan.
Namun, ketika ritual berbagi ini menjadi "pajak" sosial, seperti dalam kasus traktiran perpisahan di kantor, muncul pertanyaan mendalam: apakah momen perpisahan benar-benar memerlukan secuil piza atau sepotong donat?
Atau, mungkinkah yang sesungguhnya kita cari dalam perpisahan itu adalah sesuatu yang berbeda?