Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simbok, Mangut lele, dan Warisan yang Tak Lekang

8 November 2024   09:08 Diperbarui: 8 November 2024   09:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangut Lele Mbah Marto via suara.com

Asap putih tipis mengepul dari dapur di pangkuan desa Panggungharjo, Bantul. Pagi yang tenang itu diselubungi aroma lele yang dibakar pelan-pelan di atas bara kayu. 

Ada rempah dan sedikit aroma sangit yang memanggil, membangkitkan perut, dan menyentuh hati bagi siapa saja yang pernah mengenal masakan Mbah Marto.

"Ndhuk, ojo lali ngliwet ..." suara serak Mbah Marto terdengar dari sudut dapur. Perempuan renta yang sudah begitu lama tenggelam dalam dunia dapur ini bersandar pada dinding, matanya tajam memandang setiap gerakan di sekitarnya. 

Itulah Simbok Marto---atau Mbah Marto bagi banyak orang---sosok yang di usia senjanya masih saja setia berdiri di depan tungku, memantau setiap proses dari masakannya yang tak lekang oleh zaman.

Pada suatu hari Rabu pagi, ketika kabut masih menutupi langit Yogyakarta, berita tentang Simbok Marto yang berpulang mengejutkan semua orang. 

Tepat pukul 04.30 WIB, perempuan yang telah menyulap mangut lele menjadi legenda Yogyakarta itu meninggalkan dunia, pada usia yang nyaris mencapai satu abad (espos.id, 6/11/2024).

Poniman, putra kelimanya, berdiri diam di depan dapur sepi itu. "Simbok ki ora iso meneng," ucapnya perlahan, "saben dino pengen kerjo, masak, mboten nate rewel." Air matanya tertahan, seolah mengingat betapa Simboknya adalah nyawa dapur itu.

Bagi Mbah Marto, lele bukanlah sekadar ikan biasa. Dari seekor lele, ia mencipta masakan yang membuat orang rela antre berjam-jam di dapurnya yang sumpek. Proses memasaknya pun teramat teliti. 

Lele yang dipanggang dengan bara kayu bukan cuma dimatangkan, tapi 'diberi jiwa' lewat aroma asap. Cairan dalam daging ikan menguap, aroma amis tersingkir, dan rasa lele menjadi lebih 'dewasa'---panas, kuat, dan penuh karakter.

"Rasane kudu pas. Ora oleh kesuwen, ora oleh kecepeten," begitu pesan Mbah Marto pada anak-anaknya. Sebuah prinsip yang menuntut kesabaran, ketelitian, dan ketekunan---hal-hal yang tertanam dalam dirinya seperti akar pada tanah.

Di warungnya, Mbah Marto tidak pernah menyuguhkan kemewahan. Tak ada meja pelayan atau sentuhan modern. Pengunjung yang datang langsung menuju dapur, memilih hidangan sendiri dari panci-panci besar yang mendidih di atas kayu bakar. 

Mereka duduk di lantai atau di kursi seadanya. Sederhana, tanpa basa-basi, seperti datang ke rumah sendiri. Dan justru itulah yang membuat orang jatuh cinta---kembali pada akar, pada kenangan makan di rumah nenek yang hangat.

Tapi di balik resep lele yang diraciknya, ada yang jauh lebih berharga daripada sekadar mangut. Mbah Marto mewariskan filosofi hidup yang nyata dan bisa dirasakan oleh semua yang pernah datang ke warungnya. 

Tentang bagaimana hidup ini harus dijalani dengan sepenuh hati, tentang bagaimana mempertahankan tradisi di tengah dunia yang terus berubah.

"Simok niku yo mboten nate gelisah senajan warung rame. Mboten nate ngamuk najan gaweane tambah akeh," tutur Poniman sambil tersenyum. Kalimatnya penuh penghormatan untuk ibunya yang tegar.

Selama tiga hari sebelum kepergiannya, Mbah Marto bahkan tidak bisa makan. Tubuhnya semakin lemah, tapi pikirannya tak berhenti memikirkan warung. "Isih tak gagas dapur," katanya pelan di hari-hari terakhir. 

Semua yang mendengarnya terdiam. Bahkan ketika tubuhnya hampir menyerah, hatinya masih tertuju pada dapur itu, pada warung yang telah menjadi warisan hidupnya.

Kini, Mbah Marto telah pergi, tapi warungnya tetap berdiri kokoh. Tanpa kemegahan dan tanpa klaim "authentic" atau "tradisional" yang kerap disematkan di restoran masa kini. 

Di warung Mbah Marto, pengunjung tahu bahwa keaslian bukan sekadar label. Asap dari kayu bakar, pedasnya bumbu mangut, dan suasana hangat dapur adalah pengalaman autentik yang datang dari hati.

Jenazah Mbah Marto dikebumikan di pemakaman desa siang itu. Para pelayat berdoa dalam sunyi. "Mugi-mugi Simbok diparingi panggenan ingkang sae saking Gusti Allah," ucap Poniman, mengakhiri doa untuk ibunya.

Namun warisan Mbah Marto tetap hidup. Setiap kali dapur itu mengepulkan asapnya, setiap kali lele dipanggang dan mangut disiapkan, ada kenangan yang mewangi di udara. 

Pengunjung yang datang merasakan bahwa mereka bukan sekadar menikmati hidangan, tapi juga sebuah tradisi, kisah hidup yang terjaga dari masa ke masa.

Warung yang diwarisi anak-anak Mbah Marto ini mungkin suatu saat akan mengikuti perkembangan zaman, bisa saja berubah dalam cara yang tak terelakkan. 

Tapi bagi Poniman dan keluarganya, mereka tahu persis pesan ibunya. "Sing penting rasane tetep padha." Itulah pesan Simbok yang akan mereka pegang.

Bagi banyak orang, mungkin sulit memahami mengapa sebuah hidangan lele bisa begitu istimewa. Tapi di balik kepulan asap dan hiruk-pikuk dapur sederhana itu, ada nilai hidup yang ditanamkan oleh Mbah Marto. 

Keberanian untuk menjaga sesuatu yang sederhana, ketekunan untuk tetap tulus meski zaman berganti, dan cinta pada apa yang dilakukan.

Asap dapur di Panggungharjo masih mengepul seperti biasa. Warung Mbah Marto akan terus hidup bersama kenangan, bersama lele yang dipanggang dengan kayu bakar yang sama. 

Warisan ini akan selalu ada, menemani para penikmat mangut lele yang datang bukan hanya untuk kenyang, tapi juga untuk merasakan jiwa seorang Simbok yang mencurahkan seluruh hidupnya di dapur kecil itu.

Di luar sana, di kota yang makin modern, mungkin banyak orang yang tidak lagi mengenal kehangatan dapur nenek atau tangan keriput yang lihai meracik bumbu. 

Tapi bagi yang pernah menjejak di dapur Mbah Marto, mereka tahu bahwa keajaiban tidak selalu berkilau. Kadang, keajaiban ada di antara api yang menjilat-jilat lele, di antara suara kayu yang berderak, dan di setiap tetes peluh yang tertinggal di sudut-sudut dapur warisan Mbah Marto.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun