Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simbok, Mangut lele, dan Warisan yang Tak Lekang

8 November 2024   09:08 Diperbarui: 8 November 2024   09:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangut Lele Mbah Marto via suara.com

Di warungnya, Mbah Marto tidak pernah menyuguhkan kemewahan. Tak ada meja pelayan atau sentuhan modern. Pengunjung yang datang langsung menuju dapur, memilih hidangan sendiri dari panci-panci besar yang mendidih di atas kayu bakar. 

Mereka duduk di lantai atau di kursi seadanya. Sederhana, tanpa basa-basi, seperti datang ke rumah sendiri. Dan justru itulah yang membuat orang jatuh cinta---kembali pada akar, pada kenangan makan di rumah nenek yang hangat.

Tapi di balik resep lele yang diraciknya, ada yang jauh lebih berharga daripada sekadar mangut. Mbah Marto mewariskan filosofi hidup yang nyata dan bisa dirasakan oleh semua yang pernah datang ke warungnya. 

Tentang bagaimana hidup ini harus dijalani dengan sepenuh hati, tentang bagaimana mempertahankan tradisi di tengah dunia yang terus berubah.

"Simok niku yo mboten nate gelisah senajan warung rame. Mboten nate ngamuk najan gaweane tambah akeh," tutur Poniman sambil tersenyum. Kalimatnya penuh penghormatan untuk ibunya yang tegar.

Selama tiga hari sebelum kepergiannya, Mbah Marto bahkan tidak bisa makan. Tubuhnya semakin lemah, tapi pikirannya tak berhenti memikirkan warung. "Isih tak gagas dapur," katanya pelan di hari-hari terakhir. 

Semua yang mendengarnya terdiam. Bahkan ketika tubuhnya hampir menyerah, hatinya masih tertuju pada dapur itu, pada warung yang telah menjadi warisan hidupnya.

Kini, Mbah Marto telah pergi, tapi warungnya tetap berdiri kokoh. Tanpa kemegahan dan tanpa klaim "authentic" atau "tradisional" yang kerap disematkan di restoran masa kini. 

Di warung Mbah Marto, pengunjung tahu bahwa keaslian bukan sekadar label. Asap dari kayu bakar, pedasnya bumbu mangut, dan suasana hangat dapur adalah pengalaman autentik yang datang dari hati.

Jenazah Mbah Marto dikebumikan di pemakaman desa siang itu. Para pelayat berdoa dalam sunyi. "Mugi-mugi Simbok diparingi panggenan ingkang sae saking Gusti Allah," ucap Poniman, mengakhiri doa untuk ibunya.

Namun warisan Mbah Marto tetap hidup. Setiap kali dapur itu mengepulkan asapnya, setiap kali lele dipanggang dan mangut disiapkan, ada kenangan yang mewangi di udara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun