Donald Trump mengandalkan satu taruhan besar: bahwa kemarahannya bisa menyatu dengan kemarahan gerakan MAGA (Make America Great Again), lalu dengan Partai Republik, dan akhirnya dengan lebih dari setengah negara. Dan ternyata, taruhan itu terbayar.
Di tengah gelombang rasa frustasi jutaan orang Amerika terhadap institusi yang dirasakannya tak lagi mewakili rakyat, Trump berhasil membungkus diri sebagai suara protes, bahkan saat ia sendiri terjerat dalam institusi yang akan dikendalikannya sebagai presiden ke-47 AS (New York Times, 09/11/2024).
Tony Fabrizio, kepala jajak pendapat Trump, sudah terbiasa menghadapi segala macam badai dalam tiga kali pemilu mendampingi Trump. Namun, bahkan kali ini dia seperti bersiap menghadapi kabar buruk setelah Trump berdebat dengan Kamala Harris.Â
Trump berkali-kali tergoda oleh sindiran Harris, habis waktu mengomel soal jumlah massa, hingga menyebarkan rumor tak berdasar tentang imigran. Fabrizio memprediksi bahwa media akan menghabisi Trump usai debat yang disaksikan 67 juta orang itu. Ia benar soal liputan buruk, tapi keliru soal dampaknya.
Hasil survei pertama keluar, ia kaget. Harris memang berhasil meningkatkan beberapa aspek kecil, seperti tingkat kesukaan. Tapi Trump tetap kuat, tak bergeser sedikit pun dari persaingan. "Belum pernah saya lihat yang seperti ini," kata Fabrizio dalam rapat virtual dengan para pemimpin kampanye (Washington Post, 09/11/2024).
Trump seolah kebal gravitasi politik. Segala tuduhan yang biasanya mematikan---empat dakwaan kriminal, tiga tuntutan mahal, 34 dakwaan kejahatan berat, dan berbagai pernyataan ngawur---semuanya justru memberi tambahan energi.Â
Strategi Trump? Menyulut rasa kesal pendukungnya terhadap sistem yang selama ini dirasa tidak adil, merangkul mereka yang merasa terasing dari arus utama. Simbol kampanyenya? Foto mugshot dirinya yang dijadikan kaos dan gambar wajahnya berdarah setelah upaya pembunuhan yang gagal---simbol "takdir."
"Allah menyelamatkan saya untuk satu tujuan," katanya dalam pidato kemenangan. "Kita akan menjalankan misi itu bersama."
Dari sisi lain, Harris gagal menyamai sentuhan strategis ini. Dengan rating popularitas Joe Biden yang rendah sebagai beban, ia terpaksa menyesuaikan diri, tampak ragu-ragu antara mengecam Trump sebagai ancaman atau meremehkannya sebagai lelucon.Â
Ia coba memposisikan diri sebagai sosok populis, menyatakan akan menekan harga pangan dan perumahan untuk rakyat biasa, sementara Trump, katanya, hanya peduli pada rekan-rekan kaya.Â