Kita hidup dalam masa ketika pernikahan tak lagi dianggap satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Pernikahan, dulu adalah momen sakral yang ditunggu-tunggu setiap anak muda, sebagai tanda kedewasaan dan stabilitas.Â
Tetapi kini, pernikahan bagi banyak orang adalah pilihan, bukan lagi kewajiban sosial yang harus segera dipenuhi. Ini terutama terlihat di kalangan anak muda. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan drastis jumlah pernikahan, sekitar dua juta pada periode 2021-2023. Bukan berarti mereka tidak percaya pada cinta, tetapi ada pemahaman yang berbeda tentang hidup dan prioritas.
Di satu sisi, ada ironi yang menarik. Di tengah kesuksesan finansial yang mulai diraih oleh anak muda melalui berbagai peluang pekerjaan dan usaha, justru banyak dari mereka memilih untuk menunda pernikahan. Ketika kemampuan finansial untuk menggelar pesta besar atau membeli rumah sendiri sudah semakin mudah dicapai, komitmen formal malah terasa kurang mendesak. Generasi ini seolah berkata, "Bahagia tak harus buru-buru menikah."
Menjauh dari Jalan yang Terpeta
Kalau kita tengok ke belakang, pernikahan memiliki peran penting dalam membentuk identitas sosial seseorang. Generasi orang tua dan kakek-nenek kita tumbuh dengan keyakinan bahwa menikah adalah satu-satunya cara untuk mendapat penghormatan di tengah masyarakat. Ketika usia menginjak 20-an, tekanan untuk menikah terasa kuat. Banyak dari mereka mungkin tak sepenuhnya siap, namun desakan lingkungan dan harapan orang tua sulit dihindari. Akhirnya, pernikahan sering kali menjadi tanggung jawab, bahkan beban, bukan keputusan yang sepenuhnya mereka ambil sendiri.
Generasi muda hari ini tumbuh dengan kebebasan yang berbeda. Mereka tak lagi merasa harus mengukur kebahagiaan dari pandangan orang lain. Prioritas mereka pun beragam, mencakup pendidikan, karir, dan kesempatan mengeksplorasi dunia. Dengan kemerdekaan finansial yang semakin mungkin dicapai di usia muda, pernikahan tidak lagi mendefinisikan status atau kedewasaan. Melalui pengalaman bekerja, berusaha, dan mandiri, anak muda menemukan jalan hidup mereka sendiri, tanpa peta yang sudah digariskan oleh tradisi.
Namun, ini bukan hanya soal finansial. Di balik keputusan menunda pernikahan, ada refleksi mendalam tentang apa itu kebahagiaan, komitmen, dan arti mencintai seseorang. Generasi ini bertanya lebih jauh: apakah kita benar-benar perlu mengikat diri dalam satu komitmen seumur hidup untuk merasakan cinta yang utuh? Dan jika jawabannya iya, apa bentuk terbaik dari komitmen itu?
Eksplorasi Diri yang Tak Terburu-Buru
Coba kita bayangkan kehidupan seorang anak muda yang mandiri dan berprestasi. Di usia 28 tahun, dia sudah punya karir mapan, gaji cukup, bahkan tabungan yang memadai untuk berinvestasi. Dengan segala yang ia miliki, menikah seharusnya tak sulit baginya. Namun, justru di titik inilah ia mempertanyakan makna dari perjalanan hidupnya.
Ia melihat temannya yang sudah menikah dan mendirikan rumah tangga. Ada yang tampak bahagia, namun tak sedikit pula yang terbebani. Di balik pernikahan, sering kali tersembunyi tuntutan yang tak ringan---beban ekonomi, peran sosial, dan harapan keluarga besar yang selalu mengiringi. Akhirnya, anak muda ini pun memilih untuk menjalani hidup yang lebih fleksibel. Ia merasakan kepuasan dalam kemampuan mengontrol arah hidupnya, sesuatu yang ia tahu akan berubah ketika berkomitmen dalam pernikahan.
Banyak anak muda seperti ini menjalani hidup dengan tekun, tetapi tanpa buru-buru. Mereka menjelajahi dunia, mencoba hal-hal baru, bahkan ada yang mendalami spiritualitas atau karya seni. Ini bukan bentuk hedonisme, melainkan upaya mengenali diri dengan mendalam. Menemukan cinta diri menjadi prioritas sebelum berbagi cinta itu dengan orang lain.
Menantang Makna Baru Tentang Cinta
Di tengah perjalanan hidup yang bebas, bukan berarti anak muda ini tak merindukan cinta. Namun, cara mereka memaknainya berbeda. Cinta bukan lagi semata-mata tentang berbagi rumah atau nama belakang. Bagi banyak orang, cinta adalah pengalaman berbagi rasa dan kesepahaman. Mereka tak lagi membutuhkan pengakuan resmi dari lembaga sosial untuk menilai kualitas relasi. Bentuk-bentuk hubungan yang lebih cair, seperti hidup bersama atau menjalin komitmen tanpa ikatan formal, menjadi pilihan yang wajar.
Namun, bagi generasi tua, ini sering kali terasa asing atau bahkan mengkhawatirkan. Mereka tumbuh dengan pemahaman bahwa cinta harus ditegaskan melalui janji sakral. Sedangkan bagi anak muda hari ini, cinta justru terasa lebih tulus ketika hadir tanpa beban dan harapan berlebih. Mereka lebih memilih menjalani hubungan yang lentur, di mana komitmen tidak ditentukan oleh hukum atau norma, tetapi oleh kesadaran untuk saling menghargai.
Pertarungan dengan Norma yang Mengakar
Menunda pernikahan tentu bukan tanpa risiko. Norma yang mengakar dalam masyarakat sering kali menghadirkan stigma bagi mereka yang memilih jalur berbeda. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kapan menikah?" atau "Kenapa belum ada pasangan?" menjadi beban yang harus dihadapi. Tak jarang, mereka yang memilih menunda pernikahan dianggap egois atau terlalu fokus pada diri sendiri. Padahal, di balik keputusan ini ada proses berpikir yang mendalam dan alasan yang kompleks.
Anak muda yang memilih menunda pernikahan sebenarnya tengah menantang norma yang sudah lama berakar. Mereka mempertanyakan mengapa kebahagiaan harus dibatasi oleh bentuk yang seragam. Di era yang serba terbuka ini, mereka percaya bahwa kebahagiaan bisa ditempuh melalui berbagai cara, tanpa harus mengikuti pola yang ditetapkan oleh generasi sebelumnya.
Ini adalah bentuk perlawanan yang tenang namun tegas, bahwa seseorang berhak menentukan kebahagiaannya sendiri tanpa harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial. Tidak ada yang salah dengan menikah di usia muda, tetapi juga tidak ada yang keliru dengan menunda pernikahan. Bagi mereka, waktu terbaik untuk menikah adalah ketika mereka benar-benar siap, bukan ketika orang lain mengharapkannya.
Menuju Masa Depan yang Terbuka
Perubahan cara pandang anak muda terhadap pernikahan membuka diskusi baru tentang apa itu kebahagiaan. Kita tidak bisa menilai satu generasi lebih baik dari generasi lainnya hanya karena pilihan hidup mereka berbeda. Jika dulu menikah dianggap sebagai jalan satu-satunya menuju kebahagiaan, kini ada banyak jalan yang terbentang.
Mungkin, ini adalah tanda dari perkembangan masyarakat yang semakin dewasa dan terbuka. Anak muda hari ini sedang menulis ulang makna cinta, kebahagiaan, dan komitmen. Bukan untuk menghapus nilai lama, tetapi untuk memberi ruang bagi nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan hidup mereka. Dan siapa tahu, dari eksplorasi ini, mereka justru akan menemukan bentuk cinta yang lebih kuat dan ikatan yang lebih tulus.
Pada akhirnya, menunda pernikahan bukan sekadar soal melawan tradisi, tetapi tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk bertumbuh. Anak muda ini memilih jalur yang lebih bebas untuk menemukan kebahagiaan, mengajak kita semua untuk bertanya: seberapa dalam kita mengenal diri sebelum mengikatkan diri pada orang lain? Dan barangkali, ini adalah pertanyaan yang harus kita renungkan bersama, tanpa terburu-buru menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H