Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Panas yang Memuncak, Pesan Alam dan Harapan Pilkada Hijau 2024

31 Oktober 2024   21:13 Diperbarui: 31 Oktober 2024   21:24 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan terakhir, matahari terasa lebih terik. Hawa panas melingkupi pagi, siang, bahkan malam. Kita hidup dalam udara yang menyesakkan, ketika suhu mencapai puncaknya di akhir Oktober 2024.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu tertinggi mencapai 38,4 derajat Celsius di Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Panas ini seperti cambukan, seolah menguji daya tahan tubuh dan mental setiap orang yang hidup di bawahnya.

Ini bukan hanya soal cuaca, tapi tentang bagaimana kita merawat bumi yang semakin terbebani. Dan di tengah kondisi ini, Pilkada Hijau 2024 muncul sebagai momentum yang menjanjikan — sebuah panggilan untuk perubahan dan kepedulian.

Kita menghirup udara panas setiap hari. Polusi makin pekat. Suara mesin kendaraan memenuhi udara, tak memberi ruang bagi kesejukan alami. Di beberapa wilayah perkotaan, suhu mencapai 35 derajat atau lebih.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, panas ini bukanlah hal baru. Namun, hari-hari terasa makin panjang, dan suhu terus meningkat. Kata BMKG, fenomena ini bukan kebetulan.

Pergerakan semu matahari di atas khatulistiwa dan minimnya tutupan awan membuat panas ini terasa jauh lebih intens. “Suhu akan turun dengan kedatangan hujan yang diprediksi pada awal November,” ungkap Rossian Nursiddiq Islamiardi, Forecaster Stasiun Klimatologi Jawa Barat.

Isyarat Alam dan Kesadaran Ekologis

Menghadapi suhu ekstrem, sebagian besar masyarakat hanya bisa bertahan. Mereka menghindari sinar matahari, mengenakan payung, atau menambah konsumsi air.

Tetapi, bagi yang tinggal di daerah yang kurang hijau, suhu ini adalah cobaan berat. Di luar sana, para petani merasakan tanah yang mengeras dan lahan yang mengering.

Di jalanan kota, para pedagang kaki lima bertahan dengan kipas angin seadanya, mencoba mendinginkan tubuh di tengah udara yang serasa membara.

Hanya mereka yang mampu memasang pendingin ruangan yang sedikit lebih beruntung, meski tagihan listrik mereka melonjak. Ketimpangan terasa, antara mereka yang mampu melindungi diri dari panas dan mereka yang hanya bisa bertahan.

Panas ini bukan sekadar angka di termometer. Ia berbicara banyak. Tentang dampak polusi, tentang berkurangnya lahan hijau, dan tentang bagaimana kita mengelola lingkungan. Kondisi ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja.

Hawa panas yang kini mengurung kita adalah hasil dari ketidakpedulian kita pada alam selama bertahun-tahun. Gas rumah kaca terus memerangkap panas di atmosfer, mengubah cuaca menjadi tak terduga dan ekstrem.

BMKG telah mengeluarkan peringatan. Kita diminta waspada, menjaga hidrasi, dan menghindari aktivitas berat di luar ruangan.

Namun, langkah-langkah sederhana ini tak cukup. Masalahnya jauh lebih dalam. Dan di tengah situasi ini, Pilkada Hijau 2024 menjadi relevan, sebuah momen untuk mengubah arah.

Pilkada Hijau ini diharapkan menjadi jembatan menuju kebijakan yang lebih berpihak pada lingkungan, bukan sekadar janji politik.

Siklon di Filipina: Dampak Global, Efek Lokal

Di wilayah Asia Tenggara, siklon di Filipina memberi dampak besar pada musim di Indonesia. Angin yang biasanya membawa hujan kini berbelok arah, menunda datangnya musim hujan.

Sumatera Barat, yang biasanya sudah memasuki musim hujan, justru mengalami kemarau berkepanjangan.

Koordinator Data dan Informasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) di Bukit Kototabang, Andi Sulistiyono, menyatakan bahwa angin selatan berbelok menuju Filipina, menunda musim hujan di Sumatera Barat hingga awal November.

“Situasi kemarau ini belum mengganggu kualitas udara, tapi kekeringan lahan bisa menimbulkan gangguan pernapasan karena debu,” tambahnya.

Fenomena ini, meski jauh dari jangkauan kita, turut berpengaruh pada ritme kehidupan di Indonesia. Begitulah alam bekerja; setiap perubahan di satu tempat akan memberi dampak pada tempat lain.

Begitu juga dengan perubahan iklim yang terjadi di sekitar kita. Siklon, angin, panas ekstrem — semuanya adalah tanda-tanda yang memperingatkan kita.

Relevansi Pilkada Hijau 2024, Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Bersih

Dalam suhu yang mencekik ini, kita diingatkan tentang pentingnya pemimpin yang peduli akan masa depan bumi.

Pilkada Hijau 2024 menawarkan sebuah alternatif. Bukan sekadar memilih pemimpin, tapi memilih mereka yang benar-benar peduli pada kelestarian lingkungan. Kita tidak butuh janji-janji kosong.

Kita butuh tindakan nyata. Tindakan yang bisa menambah ruang hijau, mengurangi polusi udara, dan membuat kebijakan yang memperlambat laju perubahan iklim.

Banyak pihak berharap, Pilkada Hijau 2024 ini bisa menjadi titik awal perubahan. Perubahan yang dimulai dari kebijakan-kebijakan kecil seperti perbaikan tata kota, pengurangan plastik, atau memperluas ruang terbuka hijau.

Ini hal yang mungkin terdengar sederhana, tetapi jika dilakukan secara konsisten, dampaknya bisa signifikan. Dalam pilkada ini, setiap pemilih memiliki kekuatan untuk menentukan arah kebijakan, dan harapan ini bukanlah mimpi kosong.

Menghadapi Realitas dan Bergerak Menuju Perubahan

Kenyataannya, suhu ekstrem ini hanyalah salah satu bentuk perubahan alam yang semakin nyata di hadapan kita. Ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Kita melihat dan merasakannya setiap hari.

Dan dalam panas yang makin membara, kita dihadapkan pada pilihan: terus mengabaikan, atau mulai bergerak. Dalam Pilkada Hijau 2024 ini, suara setiap pemilih adalah alat untuk bergerak ke arah perubahan.

Perubahan iklim bukan lagi isu global yang hanya dibahas dalam konferensi internasional. Ia adalah kenyataan yang memengaruhi kita langsung. Dan melalui pemimpin yang peduli lingkungan, kita bisa mulai membangun masa depan yang lebih baik.

Mereka yang terpilih pada Pilkada Hijau ini diharapkan bisa membuat kebijakan yang mengutamakan alam, mengurangi polusi, dan menjaga keberlanjutan hidup di kota dan desa.

Sebagai bangsa, kita perlu belajar dari alam. Ketika suhu terasa tak tertahankan, alam sedang mengingatkan bahwa sesuatu tidak beres.

Dan saat itu terjadi, satu-satunya jawaban adalah bertindak — bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Hijau

Mungkin benar apa yang sering dikatakan para pakar lingkungan. Alam selalu punya caranya sendiri untuk mengingatkan kita. Setiap embusan angin panas, setiap tetesan keringat, adalah tanda bahwa kita sedang menghadapi krisis yang nyata.

Pilkada Hijau 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi tentang memilih arah. Ini adalah kesempatan untuk merangkai harapan-harapan kecil menjadi gerakan besar. Sebuah gerakan menuju masa depan yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih ramah lingkungan.

Pada akhirnya, suhu yang kita rasakan sekarang hanyalah bagian kecil dari gejolak yang lebih besar. Ini adalah pesan dari bumi kita, sebuah peringatan yang tegas dan jujur.

Pilkada Hijau 2024 adalah harapan kita untuk masa depan yang lebih baik. Kita semua tahu, perubahan besar dimulai dari langkah kecil, dan suara setiap orang adalah langkah pertama menuju masa depan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun