Panas ini bukan sekadar angka di termometer. Ia berbicara banyak. Tentang dampak polusi, tentang berkurangnya lahan hijau, dan tentang bagaimana kita mengelola lingkungan. Kondisi ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja.
Hawa panas yang kini mengurung kita adalah hasil dari ketidakpedulian kita pada alam selama bertahun-tahun. Gas rumah kaca terus memerangkap panas di atmosfer, mengubah cuaca menjadi tak terduga dan ekstrem.
BMKG telah mengeluarkan peringatan. Kita diminta waspada, menjaga hidrasi, dan menghindari aktivitas berat di luar ruangan.
Namun, langkah-langkah sederhana ini tak cukup. Masalahnya jauh lebih dalam. Dan di tengah situasi ini, Pilkada Hijau 2024 menjadi relevan, sebuah momen untuk mengubah arah.
Pilkada Hijau ini diharapkan menjadi jembatan menuju kebijakan yang lebih berpihak pada lingkungan, bukan sekadar janji politik.
Siklon di Filipina: Dampak Global, Efek Lokal
Di wilayah Asia Tenggara, siklon di Filipina memberi dampak besar pada musim di Indonesia. Angin yang biasanya membawa hujan kini berbelok arah, menunda datangnya musim hujan.
Sumatera Barat, yang biasanya sudah memasuki musim hujan, justru mengalami kemarau berkepanjangan.
Koordinator Data dan Informasi Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) di Bukit Kototabang, Andi Sulistiyono, menyatakan bahwa angin selatan berbelok menuju Filipina, menunda musim hujan di Sumatera Barat hingga awal November.
“Situasi kemarau ini belum mengganggu kualitas udara, tapi kekeringan lahan bisa menimbulkan gangguan pernapasan karena debu,” tambahnya.
Fenomena ini, meski jauh dari jangkauan kita, turut berpengaruh pada ritme kehidupan di Indonesia. Begitulah alam bekerja; setiap perubahan di satu tempat akan memberi dampak pada tempat lain.
Begitu juga dengan perubahan iklim yang terjadi di sekitar kita. Siklon, angin, panas ekstrem — semuanya adalah tanda-tanda yang memperingatkan kita.