Apakah kita perlu universitas HAM atau sekadar pemimpin yang tahu cara mendengar?
Di tanah yang lelah, janji besar sering dianggap sebagai pelarian. Natalius Pigai, Menteri Hak Asasi Manusia yang baru saja dilantik, membawa janji itu: mimpi besar tentang universitas HAM bertaraf internasional.
Bagi sebagian orang, ini adalah harapan. Bagi yang lain, ini cuma janji kosong yang mengaburkan kenyataan.
Pigai bicara soal gedung dan pusat riset, laboratorium HAM, dan rumah sakit yang akan melayani korban pelanggaran HAM.
Ia membayangkan kampus yang akan menjadi ikon bagi Indonesia, tempat dunia berkumpul untuk belajar hak asasi.
Pigai ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton dalam isu HAM global. Tapi, banyak yang tak percaya.
Di negara ini, gedung megah sering kali menjelma jadi simbol yang tak pernah menghapus luka.
Harapan dan Kekecewaan di Mata Rakyat
Pigai membayangkan kampus itu akan membangkitkan kesadaran HAM di seluruh desa di negeri ini. Di akun X miliknya, ia berkata bahwa universitas itu akan dipimpin oleh tokoh berkelas dunia.
"Universitas ini bukan untuk gaya-gayaan," katanya.
Tapi komentar skeptis cepat menyeruak. Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, tak ragu menyebutnya "tidak masuk akal."
"Gagasan ini tidak akan dikabulkan," katanya dengan nada sinis. "Presiden tak akan setuju dengan ini."
Dimas Bagus Arya, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menambahkan lebih jauh. Bagi Dimas, ini bukan cuma ide tak realistis. Ini adalah kesalahan fatal.
Sebuah proyek Rp20 triliun bukanlah jalan keluar bagi bangsa yang masih dihantui oleh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ia menyebut proyek ini akan membuka pintu bagi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan dana publik.
"Rakyat butuh keadilan, bukan gedung megah," katanya lirih (tirto.id, 29/10/2024).
Kritik dari Dalam dan Luar Lingkaran HAM
Pigai seolah melupakan bahwa HAM bukanlah hal yang bisa dilokalisasi di dalam gedung. Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, menegaskan bahwa gagasan Pigai tak lebih dari "gimik."
Baginya, HAM tak butuh gedung untuk berdiri. HAM hidup dari keadilan yang nyata. Ia tak butuh tembok atau halaman indah, tetapi kejujuran dan keberanian.
"Membangun universitas HAM tidak akan menghapus rasa sakit para korban," ujarnya tegas (tirto.id, 29/10/2024).
Asfinawati, seorang pengajar hukum di STH Indonesia Jentera, menambahkan bahwa HAM bukanlah ilmu yang bisa dikotakkan. Hak asasi, katanya, adalah hak dasar yang harus hidup dalam setiap individu, setiap hari, bukan cuma di kampus megah yang tersembunyi dari kenyataan (tirto.id, 29/10/2024).
Uang Besar, Harapan Kecil
Angka Rp20 triliun melayang seperti sesuatu yang mustahil. Anggaran Pigai saat ini hanya Rp64 miliar. Bagaimana ia bisa menggapai anggaran sebesar itu?
Menurut Dimas Bagus Arya dari KontraS, ide ini lebih dari sekadar kesalahan. Angka itu akan membuka peluang bagi para pencari kesempatan, alih-alih menjadi solusi bagi rakyat yang butuh keadilan (tirto.id, 29/10/2024).
Kebingungan ini bukan tanpa dasar. Janji besar sering kali datang tanpa tindak lanjut. Publik punya hak untuk tahu ke mana uang itu akan digunakan, tetapi Pigai belum memberi jawaban pasti.
Dalam suasana penuh kecurigaan ini, kepercayaan sangatlah penting. Tanpa kepercayaan, proyek sebesar apapun akan tenggelam bersama janji-janji yang pernah terlontar.
Kebutuhan Nyata Akan Keadilan
HAM, dalam kenyataan yang lebih sederhana, adalah hak untuk dihormati dan diberi keadilan. HAM bukan soal gedung tinggi atau anggaran besar.
Ia adalah hak setiap warga negara untuk dihargai, untuk hidup tanpa takut, untuk berbicara tanpa merasa terancam. Di negeri ini, HAM seharusnya berarti pengakuan, bukan simbol.
Ikhsan Yosari dari SETARA Institute menyebutkan bahwa yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan nyata.
Kementerian HAM harus bisa menjamin bahwa aparat penegak hukum melindungi hak setiap warga negara, bukan sekadar mendirikan proyek besar yang bisa menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi. Dalam kenyataannya, orang hanya butuh jaminan untuk dihormati (tirto.id, 29/10/2024).
Bagi rakyat biasa, HAM bukan mimpi besar tentang gedung-gedung megah. HAM adalah hak yang sederhana tapi nyata. Hak yang tak perlu diumumkan atau dijanjikan. Ia harus hidup dalam tindakan nyata, dalam sistem yang jujur dan tulus.
Beban Kepercayaan
Banyak yang merasa Pigai telah salah arah. Di negeri ini, rakyat tidak perlu janji besar yang mewah. Mereka butuh kepastian bahwa pelanggaran HAM tidak akan diabaikan.
Mereka tak butuh kata-kata atau proyek raksasa, tapi tindakan nyata. Di tengah isu yang berlarut-larut, di negara yang terbelit kasus-kasus lama, mimpi Pigai terasa jauh dari kenyataan.
Rakyat butuh pemimpin yang tahu mendengar, yang memahami bahwa HAM adalah tentang hati dan keberanian.
Ikhsan Yosari mengatakan dengan lantang bahwa Pigai seharusnya mendesak penuntasan kasus-kasus yang masih menggantung, bukan sekadar berfokus pada rencana besar. "Indonesia tidak butuh ikon, tetapi keadilan nyata yang bisa dirasakan," kata Ikhsan (tirto.id, 29/10/2024).
Simbol atau Realita?
Natalius Pigai adalah simbol harapan baru. Tapi harapan ini tak bisa terus menggantung. Rakyat menginginkan janji yang sederhana dan bisa dirasakan.
Jika Pigai ingin dikenang, maka prioritasnya haruslah keadilan yang nyata bagi korban, bukan proyek besar yang hanya akan menjadi jejak kosong.
Pigai masih punya kesempatan untuk membuktikan niat baiknya, untuk benar-benar memperjuangkan HAM yang sebenarnya.
Di tengah situasi ini, Pigai dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah ia akan terus mengejar mimpi megahnya, atau kembali ke inti yang sesungguhnya?
Bagi mereka yang sudah lama lelah dengan janji besar, realisasi HAM tak membutuhkan gedung. Rakyat ingin hak-hak mereka dijaga, tanpa harus berteriak, tanpa harus merasa diabaikan.
HAM adalah Tindakan Nyata
HAM adalah kenyataan yang harus hadir dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar impian besar yang mengawang-awang.
Di balik kata-kata dan rencana besar, rakyat ingin sesuatu yang bisa mereka lihat dan rasakan.
Bagi Pigai, pilihan ini adalah kesempatan untuk dikenang sebagai pemimpin yang peduli atau terjebak dalam ambisi yang tak pernah menjadi kenyataan.
Pada akhirnya, rakyat tak butuh janji. Mereka menginginkan hak-hak mereka dihormati tanpa kata-kata besar. Mereka menginginkan negara yang tahu apa artinya HAM: hak untuk hidup, untuk dihormati, untuk merasa aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H