Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panduan Menikah ala Socrates: Petualangan Filsafat di Ranjang dan Ruang Tamu

30 Oktober 2024   01:30 Diperbarui: 30 Oktober 2024   01:59 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Socrates pernah berkata, "Jika kamu menikah dengan perempuan baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi filsuf."

Di sini, ia bukan hanya melontarkan kalimat bijak untuk mencairkan suasana, tetapi benar-benar memahami bahwa pernikahan adalah pilihan yang membuat kita berpikir lebih dalam, menguji batas sabar dan logika kita.

Di masa kini, kita bisa melihat bagaimana konsep ini hadir dalam hubungan modern: pasangan yang merasa sendiri meskipun hidup bersama, kesenjangan antara impian bersama dan kenyataan hidup --Lonely Marriage.

Filsuf modern seperti Alain de Botton sering menyebutkan bahwa pernikahan adalah bentuk hubungan yang dibangun bukan untuk membuat kita bahagia, tetapi untuk membuat kita berkembang, menghadapi ego, dan menantang pandangan hidup.

Bagi Socrates, Xanthippe adalah katalis yang menjadikannya lebih mendalam dan tajam. Dan begitulah kita semua: pernikahan kadang membawa kita pada titik di mana kita menjadi pribadi yang lebih dalam, pribadi yang lebih bijaksana. Tentu, bukan tanpa pertarungan batin.

Socrates, Sang Penghindar Tanggung Jawab?

Di zaman sekarang, kita menyebut orang seperti Socrates sebagai "penghindar tanggung jawab." Ia sibuk mengejar kebijaksanaan di luar rumah, berbincang dengan warga Athena, tetapi jarang mengurus kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Xanthippe harus hidup dengan suami yang lebih sibuk menanyakan hakikat hidup daripada mencari nafkah.

Jika Socrates hidup di era digital, mungkin ia adalah seorang yang menghabiskan waktu berjam-jam di forum diskusi filsafat, berdebat tentang kebenaran, tanpa pernah membantu menyelesaikan hal-hal praktis di rumahnya sendiri.

Mungkin inilah mengapa Xanthippe kadang merasa lelah dan frustrasi. Bagi Socrates, kehidupan adalah panggung bagi pertanyaan abadi, tetapi bagi Xanthippe, pernikahan adalah tempat ia berharap bisa menemukan jawaban sederhana untuk masalah sehari-hari.

Ini adalah kisah klasik dari pasangan yang hidup dalam ketegangan konstan antara mimpi besar dan kebutuhan praktis. Mereka tidak pernah sepenuhnya bahagia, tetapi justru di sana mereka menemukan cara untuk saling menerima.

Menerima Ketidaksempurnaan dalam Pernikahan

Pada akhirnya, pernikahan Socrates dan Xanthippe mengajarkan kita untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari perjalanan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun