Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sin Po, Lagu Indonesia Raya, dan Kisah Satu Bahasa: Potret Patah-Patah dari Sejarah yang Terabaikan

28 Oktober 2024   10:31 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:23 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1941, Ki Hajar Dewantara berbicara tentang bahasa. Bahasa Melayu, katanya, adalah bahasa yang mudah dipahami semua golongan. Ia melihat bahasa ini sebagai bahasa yang cocok untuk menjadi bahasa nasional. 

Ki Hajar tahu bahwa bahasa bisa menyatukan. Dan dengan Kongres Pemuda II, pilihan ini semakin jelas. Bahasa Melayu dipilih bukan karena ia adalah bahasa terbesar, tapi karena ia adalah bahasa yang bisa merangkul semua orang.

Ki Hajar menyebut bahwa "bangsa dan bahasa adalah satu." Ini adalah sebuah visi, sebuah impian. Ia melihat bahasa sebagai jembatan, bukan penghalang. Dengan bahasa, ia percaya bahwa kita bisa saling memahami, bisa menjadi satu bangsa (Kompas.com, 2020).

Jejak Tionghoa dalam Bahasa Indonesia yang Kita Kenal Sekarang

Di setiap kata yang kita ucapkan, ada sejarah. Ada kisah-kisah kecil yang tersembunyi. Salah satunya adalah kontribusi etnis Tionghoa dalam membentuk bahasa Indonesia. Mereka bukan hanya menggunakan bahasa Melayu. Mereka menulis, mengajar, dan berjuang dengan bahasa ini.

Dalam setiap upacara, dalam setiap lagu Indonesia Raya yang kita nyanyikan, ada jejak mereka. Para jurnalis di Sin Po yang berani mempublikasikan lagu kebangsaan. 

Para penerbit seperti Tan Khoen Swie yang mengedarkan buku-buku berbahasa Melayu. Para pemuda Tionghoa yang bersumpah di rumah Sie Kong Liong. Semua itu adalah bagian dari sejarah bahasa kita.

Setiap kali kita mengucapkan kata "Indonesia," kita menyebut harapan yang dulu diimpikan oleh mereka. Kita membawa suara yang dulu disuarakan oleh mereka yang berjuang. Mereka adalah bagian dari bahasa kita, bagian dari sejarah kita.

Kenangan yang Harus Dijaga: Sebuah Warisan yang Tak Ternilai

Kini, pada peringatan ke-96 tahun Sumpah Pemuda, kita mengenang mereka yang pernah bermimpi besar. 

Mereka yang berkumpul di rumah kecil di Kramat 106, mereka yang menulis dan mencetak dengan penuh semangat, mereka yang berdiri untuk satu Indonesia. Di balik setiap kata yang kita ucapkan, ada jejak keberanian. Ada semangat kebersamaan.

Bahasa Indonesia adalah warisan. Warisan yang harus dijaga. Di dalam bahasa ini, ada nyala api persatuan. Di dalam setiap kata, ada kenangan yang hidup. Sebuah kenangan dari masa lalu, sebuah jembatan untuk masa depan.

Satu bangsa, satu bahasa, satu impian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun