Etnis Tionghoa, sejak awal, sudah menjadi bagian dari arus besar yang membentuk bahasa ini. Bagi mereka, bahasa Melayu bukan sekadar bahasa. Itu adalah jembatan untuk memahami, untuk merangkul.
Layar Buku dan Puisi: Bahasa yang Terjalin dalam Sastra
Di atas kertas, tinta mulai mengalir. Sastra Melayu-Tionghoa mulai tumbuh di Nusantara. Dari novel hingga puisi, bahasa Melayu-Tionghoa melahirkan karya-karya yang mencerminkan kehidupan nyata.Â
Di antara tahun 1870 hingga 1966, lebih dari 3.000 karya Melayu-Tionghoa diterbitkan. Ada novel, cerita pendek, ada juga puisi. Mereka berbicara tentang cinta, perjuangan, dan kehidupan yang sederhana.
Bahasa Melayu-Tionghoa menciptakan kata-kata baru, gaya baru. Bahasa ini menjadi alat yang memperkaya bahasa Melayu. Prof. Ahmad Syafi'i Maarif menulis bahwa kesederhanaan bahasa Melayu adalah keunggulannya.Â
Bahasa ini telah menjadi lingua franca di Nusantara jauh sebelum Sumpah Pemuda. Sastra Melayu-Tionghoa memberi warna pada bahasa ini, membawa dinamika yang berbeda ke dalam kehidupan masyarakat (Kompas.com, 2018).
Penerbitan Buku sebagai Tanda Cinta pada Bahasa
Di balik setiap buku, ada tangan yang bekerja keras. Salah satunya adalah penerbit Tan Khoen Swie. Ia berasal dari Kediri, Jawa Timur.
Penerbitannya mencetak sekitar 400 buku berbahasa Melayu. Bagi Tan Khoen Swie, buku adalah cara untuk memperkenalkan bahasa kepada masyarakat luas.Â
Ia melihat bahwa bahasa Melayu bisa tumbuh melalui literasi. Buku-buku berbahasa Melayu yang diterbitkannya bisa diakses lintas etnis, menyebar dari satu tangan ke tangan lain.
Dengan demikian, bahasa Melayu menjadi semakin kokoh. Ia menyebar, diterima oleh banyak orang. Bukan hanya sebagai bahasa sehari-hari, tapi sebagai bahasa untuk belajar, untuk berpikir, untuk bermimpi.Â
Sejarah menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah digunakan oleh berbagai etnis, dan itu membuatnya lebih kuat. Lebih tahan banting.