Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menteri, Kepala Desa, dan Logika Birokrasi: Ketika Simbol Negara Jadi Alat Politik Pribadi

23 Oktober 2024   09:17 Diperbarui: 23 Oktober 2024   09:21 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | sumber: ruangbicara.co.id

Kasus yang baru-baru ini menyorot Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT) Yandri Susanto menimbulkan perbincangan hangat di berbagai kalangan.

Acara tasyakuran dan haul ibunda mendiang Yandri menggunakan kop surat resmi kementerian, yang memicu kritik tajam karena melibatkan kepala desa dalam acara yang bersifat pribadi.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, turut mengecam penggunaan atribut negara untuk keperluan non-dinas, menekankan pelanggaran etika administrasi negara yang serius.

Namun, polemik ini membuka perdebatan yang lebih mendasar: Seberapa wajar seorang menteri menginstruksikan kepala desa untuk hadir dalam sebuah acara pribadi? Apakah ini hanya soal pelanggaran etika administratif, atau justru cerminan lebih dalam dari relasi kuasa di birokrasi kita?

Birokrasi: Hierarki dan Relasi Kekuasaan yang Terabaikan

Secara struktural, kepala desa adalah pejabat di tingkat paling bawah dalam birokrasi formal Indonesia, berada di bawah pengawasan langsung bupati atau wali kota.

Dalam kerangka administrasi publik, hubungan antara menteri dan kepala desa seharusnya bersifat koordinatif, bukan instruktif. Menteri berperan dalam menentukan kebijakan makro yang memengaruhi kehidupan di desa, sementara kepala desa bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut di level lokal.

Namun, dalam kasus ini, undangan kepada kepala desa dengan kop surat kementerian memicu persepsi bahwa ada tekanan terselubung dari pejabat pusat kepada perangkat desa.

Menggunakan simbol-simbol negara seperti kop surat kementerian untuk urusan pribadi melanggar batas formal hubungan birokratis yang sehat.

Dalam konteks birokrasi yang ideal, kekuasaan seharusnya tidak bersifat vertikal melainkan fungsional; artinya, seorang menteri tidak bisa serta merta memberikan instruksi langsung kepada kepala desa dalam hal-hal yang bersifat teknis apalagi personal.

Namun, kenyataannya sering kali terjadi kekeliruan dalam memahami logika kekuasaan ini. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pemahaman mengenai relasi hierarkis dalam birokrasi kita.

Budaya Patronase: Loyalitas Sosial atau Penyelewengan Kekuasaan?

Lebih dari sekadar masalah birokrasi, kasus ini mengungkap kuatnya budaya patronase politik di Indonesia. Patronase, di mana pemimpin politik memberikan dukungan kepada bawahan atau konstituennya dalam bentuk bantuan atau perlindungan, menciptakan hubungan ketergantungan yang memengaruhi dinamika politik dan birokrasi.

Kepala desa yang hadir dalam acara pribadi seorang menteri kemungkinan besar merasa "terundang" bukan karena undangan biasa, tetapi karena adanya kesadaran politis bahwa menteri tersebut adalah figur berkuasa yang patut "dihormati."

Fenomena ini tak lepas dari posisi politik istri Yandri Susanto, Ratu Rachmatu Zakiyah, yang maju sebagai calon bupati Serang dalam Pilkada 2024.

Meski Yandri menyatakan tidak ada unsur politik dalam acara tersebut, kehadiran kepala desa dalam tasyakuran bisa dilihat sebagai bentuk kesetiaan politik, bukan hanya rasa hormat.

Ini adalah salah satu contoh bagaimana garis tipis antara kepentingan pribadi, politik, dan administratif sering kali kabur dalam konteks birokrasi Indonesia.

Simbol Negara: Dari Alat Administrasi Menjadi Alat Politik

Mahfud MD dengan keras mengkritik penggunaan simbol negara seperti kop surat resmi untuk keperluan pribadi. Baginya, tindakan ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga menimbulkan kebingungan mengenai batasan antara urusan publik dan pribadi.

Dalam teori administrasi publik, penggunaan simbol negara haruslah dipertanggungjawabkan dengan sangat hati-hati, karena simbol tersebut mewakili kewenangan negara, bukan individu.

Namun, fenomena penggunaan kop surat kementerian untuk undangan pribadi menunjukkan betapa lemahnya disiplin administratif kita.

Penyalahgunaan atribut negara untuk kepentingan non-dinas bisa dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berbahaya.

Ini memberi kesan bahwa pejabat publik merasa memiliki otoritas yang melampaui batas formal, seolah-olah posisi mereka memberi hak untuk mencampuradukkan urusan pribadi dengan jabatan.

Jika ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap integritas pejabat negara akan semakin terkikis, dan birokrasi pun terancam kehilangan kredibilitasnya.

Birokrasi yang Terkaburkan oleh Politik

Dalam teori birokrasi Max Weber, struktur kekuasaan dibangun berdasarkan aturan yang ketat dan hierarki yang jelas.

Birokrasi modern dirancang untuk menghindari personalisasi kekuasaan, di mana aturan harus lebih dominan daripada hubungan personal atau kesetiaan politis.

Namun, kenyataan di Indonesia sering kali bertolak belakang. Relasi kekuasaan di tingkat lokal sering kali tidak berjalan sesuai dengan logika birokrasi formal.

Kepala desa mungkin lebih takut atau merasa lebih berutang budi kepada menteri pusat ketimbang kepada bupati yang secara struktural adalah atasan mereka.

Hal ini mencerminkan bahwa politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh relasi patron-klien yang kental. Dalam banyak kasus, hubungan ini justru mengaburkan batasan-batasan struktural yang seharusnya ada dalam birokrasi yang sehat.

Para pejabat lokal sering kali merasa perlu menunjukkan kesetiaan politik kepada pejabat pusat demi mempertahankan posisi atau mendapatkan keuntungan tertentu. Ini adalah bentuk manipulasi kekuasaan yang secara langsung mengganggu otonomi pemerintahan desa.

Perkuat Etika dan Jaga Otonomi Desa

Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, pemerintah perlu melakukan dua hal. Pertama, memperkuat aturan dan sanksi terhadap pelanggaran etika administratif, terutama dalam hal penggunaan simbol-simbol negara untuk kepentingan pribadi.

Pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran semacam ini sangat penting untuk menjaga wibawa birokrasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan . Kedua, otonomi desa harus diperkuat, tidak hanya dalam hal kebijakan tetapi juga dalam hal pemahaman tentang batasan wewenang.

Kepala desa perlu diberikan pendidikan lebih lanjut mengenai peran mereka dalam struktur pemerintahan, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh tekanan politik dari pejabat pusat.

Selain itu, budaya patronase yang telah mengakar juga perlu diberantas dengan cara membangun birokrasi yang lebih independen dan profesional. Para pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus belajar memisahkan antara loyalitas politik dan tanggung jawab administratif.

Hanya dengan cara inilah kita dapat menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau politik.

Birokrasi yang Bebas dari Manipulasi Politik

Kasus tasyakuran Yandri Susanto mengungkapkan persoalan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar penggunaan kop surat resmi untuk acara pribadi.

Ini adalah cerminan dari birokrasi yang sering kali terganggu oleh pengaruh politik dan loyalitas sosial yang salah tempat. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk memperkuat etika administrasi dan menjaga otonomi desa dari tekanan politik yang tidak semestinya.

Dengan demikian, kita tidak hanya berbicara soal pelanggaran administratif, tetapi juga tentang upaya membangun birokrasi yang lebih berintegritas, di mana pejabat publik memahami dengan jelas batasan antara wewenang mereka sebagai pelayan masyarakat dan keinginan pribadi mereka sebagai individu. Ini adalah langkah penting menuju pemerintahan yang lebih baik, transparan, dan bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun