Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Program Makan Siang Gratis dan Stunting Sudah, Kapan Stunting Literasi Digaungkan?

21 Oktober 2024   11:26 Diperbarui: 21 Oktober 2024   12:15 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lima tahun terakhir, upaya menangani stunting—dan kabinet baru yang mengusung program makan siang gratis—telah dan akan menjadi salah satu agenda nasional yang paling diutamakan yang cukup menyita perhatian publik.

Program ini, selain bertujuan meningkatkan gizi anak-anak, juga merupakan strategi untuk mengatasi masalah gizi buruk yang berdampak pada tumbuh kembang fisik anak. Namun, di tengah gemuruh perhatian pada stunting fisik, isu lain yang sama pentingnya nyaris terabaikan: stunting literasi.

Stunting literasi, meskipun tidak terlihat secara langsung seperti stunting fisik, memiliki dampak yang jauh lebih panjang dan lebih mendalam. Kemampuan literasi yang rendah, atau bahkan kurang berkembangnya minat baca sejak usia dini, berpotensi memperlambat perkembangan intelektual generasi mendatang.

Dalam hal ini, literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang dibaca---kemampuan berpikir kritis, analitis, serta memahami informasi yang diterima.

Stunting Literasi, Mengapa Ini Penting?

Menurut penelitian UNESCO, tingkat literasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Pada tahun 2020, survei Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia berada di peringkat bawah, bahkan dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat ekonomi yang serupa.

Ini menunjukkan bahwa literasi belum menjadi fokus utama dalam agenda pembangunan manusia di Indonesia, meskipun perannya sangat vital.

Anak-anak yang mengalami stunting fisik akan menghadapi berbagai tantangan kesehatan yang signifikan, tetapi anak-anak yang tidak mampu mengembangkan literasi yang baik akan menghadapi kesulitan lebih besar dalam berpartisipasi penuh dalam masyarakat.

Mereka yang tidak bisa memahami teks yang kompleks akan kesulitan dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan bahkan mengakses peluang kerja di masa depan.

Baca juga: Gerbong Literasi

Pemerintah saat ini telah memfokuskan banyak upaya pada pengentasan stunting fisik melalui program-program seperti pemberian makan siang gratis di sekolah. Ini adalah langkah yang sangat positif, karena gizi yang buruk memiliki dampak yang langsung terhadap kinerja kognitif.

Anak-anak yang kekurangan gizi, menurut penelitian World Health Organization (WHO), menunjukkan penurunan kemampuan dalam konsentrasi dan memori, yang secara langsung mempengaruhi performa mereka dalam belajar. Namun, memperbaiki gizi saja tidak cukup jika kita tidak menangani stunting literasi dengan upaya yang sama.

Literasi dan Gizi, Dua Sisi Mata Uang yang Tidak Terpisahkan

Gizi dan literasi berjalan seiring, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Anak yang kurang gizi akan sulit fokus belajar, sedangkan anak yang tidak terpapar literasi yang baik sejak dini juga akan sulit untuk berkembang secara kognitif. Keduanya adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi jika kita ingin melihat bangsa ini maju.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa meskipun pemerintah berfokus pada perbaikan gizi melalui program makan siang gratis, belum ada langkah konkrit yang secara sistematis mendorong pengentasan "stunting literasi". Indonesia membutuhkan program literasi yang terstruktur dan masif, serupa dengan upaya yang dilakukan dalam program gizi.

Jika literasi terus dianggap sebagai sekadar "hobi" atau kegiatan tambahan, kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang tidak pernah berakhir. Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis yang memadai akan tumbuh menjadi orang tua yang juga tidak mampu mendidik anak-anaknya untuk memahami pentingnya literasi. Siklus ini akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai "stunting literasi" dalam skala yang lebih besar.

Daur Ulang Kebodohan, Stunting Literasi sebagai Lingkaran Setan

Salah satu bahaya terbesar dari stunting literasi adalah dampaknya yang berkelanjutan. Anak-anak yang tidak dibiasakan membaca sejak dini mungkin hanya bisa membaca teks tanpa memahami isinya.

Mereka bisa membaca huruf, tetapi tidak memahami makna di balik kata-kata yang mereka baca. Lebih buruk lagi, ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi orang tua, mereka tidak akan mampu menularkan kebiasaan membaca kepada anak-anak mereka. Inilah lingkaran setan stunting literasi yang tak terputus.

Seperti yang dikatakan oleh berbagai ahli pendidikan, literasi memiliki beberapa tahapan yang kompleks. Tidak cukup hanya belajar mengeja huruf dan kata, anak-anak juga harus mampu memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi yang mereka baca. Jika tahap ini tidak dilalui dengan baik, mereka hanya akan menjadi pembaca pasif yang tidak mampu menggunakan informasi untuk memecahkan masalah atau berinovasi.

Stunting literasi bukan hanya masalah pendidikan, melainkan juga masalah sosial yang serius. Tingkat literasi yang rendah menghambat partisipasi penuh seseorang dalam masyarakat. Orang dengan literasi yang terbatas mungkin tidak dapat memahami instruksi medis yang mereka terima, tidak mampu mengakses informasi penting terkait hak-hak mereka, atau bahkan gagal memahami kontrak kerja yang mereka tanda tangani.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Pemerintahan yang baru harus mengambil langkah lebih agresif dalam mengatasi stunting literasi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menjadikan literasi sebagai kebutuhan pokok, seperti halnya makan, minum, dan buang air.

Program-program literasi harus diterapkan sejak usia dini, dengan fokus tidak hanya pada kemampuan teknis membaca, tetapi juga pada pemahaman dan analisis teks. Kurikulum yang ada harus disesuaikan dengan metode pembelajaran yang terbukti secara ilmiah, dan guru harus dilatih ulang untuk menerapkan metode tersebut.

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa bahan bacaan yang berkualitas tersedia dan mudah diakses oleh semua anak, baik di sekolah maupun di rumah. Kampanye nasional untuk meningkatkan minat baca juga harus dicanangkan, melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk keluarga, sekolah, dan komunitas lokal.

Seperti yang telah diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, di mana pembelajaran literasi didasarkan pada penelitian ilmiah tentang cara anak-anak belajar membaca, Indonesia juga dapat mengadaptasi pendekatan yang lebih terstruktur untuk meningkatkan literasi. Gerakan literasi ini harus berfokus pada seluruh spektrum proses belajar membaca, dari fonik dasar hingga kemampuan analitis yang lebih tinggi.

Kesimpulan: Maju Bersama, Gizi dan Literasi

Tidak ada negara yang bisa maju tanpa masyarakat yang sehat dan terdidik. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menyadari bahwa literasi bukanlah hobi atau kegiatan tambahan, tetapi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sama pentingnya dengan kebutuhan akan gizi yang baik.

Kita tidak bisa memisahkan gizi dan literasi dalam proses pendidikan anak-anak kita. Keduanya harus berjalan seiring, seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi.

Tugas pemerintah yang baru bukan hanya untuk memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan makan siang yang layak, tetapi juga memastikan mereka mendapatkan asupan literasi yang memadai.

Dengan gizi yang baik dan literasi yang kuat, kita bisa memutus siklus kemiskinan dan kebodohan yang selama ini membelenggu bangsa ini. Hanya dengan cara itulah kita bisa berharap Indonesia menjadi bangsa yang besar, dengan masyarakat yang cerdas, sehat, dan siap menghadapi tantangan global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun