Sebaliknya, Indonesia tampaknya berupaya untuk menjaga hubungan baik dengan berbagai negara, termasuk kekuatan-kekuatan besar non-Barat.
Negosiasi Bilateral di Balik Pelantikan
Acara pelantikan presiden sering kali menjadi lebih dari sekadar seremonial. Di balik pintu tertutup, pertemuan bilateral yang tidak dipublikasikan sering kali berlangsung, membuka jalan bagi negosiasi diplomatik yang lebih substansial.
Kehadiran pemimpin dari Laos, Vietnam, Brunei, dan Timor Leste, misalnya, bisa diartikan sebagai sinyal bahwa Indonesia berusaha memperkuat hubungan di tingkat regional.
Asia Tenggara, sebagai kawasan yang sangat dinamis secara ekonomi dan politik, memegang peran penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Negara-negara ASEAN seperti Laos, Vietnam, dan Brunei, yang hadir dalam pelantikan ini, menunjukkan bahwa Indonesia mungkin akan memainkan peran yang lebih aktif dalam mendorong integrasi ekonomi regional dan memperkuat solidaritas politik di kawasan tersebut.
Ini semakin relevan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di Laut China Selatan dan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan besar di kawasan tersebut.
Pandangan Tentang Diplomasi Indonesia
Pengamat politik internasional melihat kehadiran pemimpin dunia ini sebagai indikasi kuat bahwa Indonesia akan semakin mengambil peran proaktif dalam hubungan internasional.
Menurut Direktur Pusat Kajian Strategis Asia, Prof. Yudhoyono Wibisono, "Pelantikan ini bukan hanya simbol transisi kepemimpinan, tetapi juga panggung diplomasi di mana pergeseran aliansi dan kerjasama strategis baru sedang dibentuk" (Kompas.com, 20/10/2024).
Beberapa pengamat bahkan memperkirakan bahwa kehadiran pemimpin dari negara-negara kecil seperti Vanuatu dan Serbia mencerminkan minat Indonesia untuk memperluas pengaruhnya di luar kawasan Asia-Pasifik, ke arah yang lebih global.
Vanuatu, sebagai negara kepulauan kecil di Pasifik, memiliki hubungan historis yang kuat dengan Indonesia, terutama terkait isu Papua. Sementara itu, Serbia, yang memiliki hubungan diplomatik yang solid dengan Indonesia sejak era Perang Dingin, bisa menjadi mitra potensial dalam berbagai bidang seperti perdagangan dan pendidikan.
Potensi Pergeseran Aliansi
Diplomasi di era Prabowo-Gibran tampaknya akan semakin berfokus pada peningkatan hubungan bilateral yang pragmatis, di mana kepentingan ekonomi dan keamanan menjadi prioritas utama.
Seiring dengan makin menguatnya pengaruh China dan Rusia di kawasan, pertanyaan pentingnya adalah apakah Indonesia akan tetap berkomitmen pada politik luar negeri bebas aktif, atau akan bergeser ke arah yang lebih condong pada kekuatan-kekuatan tertentu.