Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguak Kunci Sukses Finlandia dalam Membentuk Generasi Muda Anti-Hoaks

19 Oktober 2024   09:42 Diperbarui: 19 Oktober 2024   09:48 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | sumber: indonesiaexpat.id

Tahukah Anda bahwa di Finlandia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain?

Ini bukan kebetulan. Negara Nordik ini telah berhasil menanamkan literasi digital yang kuat pada generasi mudanya sejak usia dini.

Bagaimana mereka melakukannya? Dengan pendekatan yang unik dan inovatif, Finlandia telah membuktikan bahwa kita semua bisa belajar dari mereka dalam melawan hoaks.

Finlandia, negara Nordik kecil dengan populasi hanya sekitar 5,4 juta jiwa, menduduki peringkat pertama dalam hal ketahanan terhadap misinformasi di antara 41 negara Eropa menurut survei yang diterbitkan oleh Open Society Institute.

Di saat banyak negara lain bergulat dengan dampak berita palsu yang semakin merajalela, Finlandia seolah kebal dari serangan disinformasi global. Apa yang membuat negara ini berhasil? Jawabannya terletak pada pendidikan.

Pendidikan sebagai Benteng Pertahanan

Sejak usia dini, anak-anak di Finlandia diajari untuk berpikir kritis dan memahami media.

Literasi media telah menjadi bagian dari kurikulum nasional sejak tahun 2013, dengan tujuan untuk memperkuat kemampuan siswa mengenali informasi palsu.

Saara Martikka bukanlah satu-satunya guru yang menerapkan pendekatan ini. Di seluruh Finlandia, para guru, dari yang mengajar matematika hingga pendidikan jasmani, diwajibkan untuk mengintegrasikan elemen literasi media ke dalam pelajaran mereka.

"Ini bukan soal apa yang mereka pelajari, tapi bagaimana mereka berpikir tentang apa yang mereka pelajari," kata Leo Pekkala, direktur Institut Audiovisual Nasional Finlandia, yang mengawasi pendidikan media di negara tersebut. "Setiap guru diharapkan untuk mengajarkan siswa tentang cara mengenali informasi yang tidak benar."

Sistem pendidikan Finlandia sendiri sudah lama dipandang sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Dari perguruan tinggi yang gratis hingga kualitas hidup yang tinggi, Finlandia memiliki banyak keunggulan struktural yang mendukung keberhasilan program literasi media ini.

Selain itu, sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada ujian standar memungkinkan para guru lebih fleksibel dalam mengajarkan topik-topik yang relevan dengan tantangan zaman, termasuk misinformasi.

Kepercayaan dan Transparansi Publik

Namun, keberhasilan Finlandia dalam menahan gelombang misinformasi bukan hanya hasil dari kualitas pendidikannya.

Negara ini memiliki faktor-faktor lain yang turut berperan, termasuk tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan institusi-institusi publik.

Sebuah survei yang dilakukan oleh IRO Research menunjukkan bahwa 76 persen warga Finlandia menganggap surat kabar cetak dan digital dapat dipercaya.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, hanya 34 persen orang yang mempercayai media massa menurut survei Gallup.

Kepercayaan ini mempermudah masyarakat untuk memilah antara informasi yang valid dan yang menyesatkan.

Di negara-negara dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah, informasi yang salah lebih mudah menyebar, karena ketidakpercayaan terhadap institusi sering kali membuat orang lebih rentan terhadap teori konspirasi.

Sebaliknya, di Finlandia, komunikasi yang jelas dan transparan antara pemerintah dan warga menciptakan fondasi bagi budaya media yang lebih sehat dan tangguh.

Namun, bahkan di negara dengan tingkat kepercayaan yang tinggi seperti Finlandia, ancaman misinformasi terus berkembang.

Invasi Rusia ke Ukraina, misalnya, mendorong Finlandia untuk memperkuat program literasi medianya. "Ancaman propaganda yang disponsori negara, terutama dari Rusia, membuat kami semakin sadar akan pentingnya literasi media," kata Paivi Leppanen, koordinator proyek di Badan Pendidikan Nasional Finlandia.

Tantangan Generasi Muda di Era Media Sosial

Di sisi lain, meskipun program-program literasi media di sekolah Finlandia sangat efektif, tantangan besar tetap ada. Anak muda Finlandia, seperti di banyak negara lain, tumbuh besar dengan media sosial, yang merupakan lahan subur bagi penyebaran hoaks.

"Fakta bahwa mereka tumbuh dengan media sosial tidak berarti mereka secara otomatis bisa mengenali misinformasi," kata Anna Airas, seorang guru di Helsinki.

Sebuah studi yang diterbitkan di British Journal of Developmental Psychology menemukan bahwa masa remaja bisa menjadi masa puncak untuk keyakinan terhadap teori konspirasi.

Media sosial, dengan algoritma yang dirancang untuk memperkuat keterlibatan, sering kali memperlihatkan konten yang bias atau salah kepada pengguna muda, memperkuat kepercayaan mereka pada informasi yang tidak benar.

Dalam hal ini, pendekatan Finlandia yang mengintegrasikan literasi media ke semua aspek pembelajaran sekolah memiliki keunggulan. 

Siswa diajari untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat di TikTok atau Instagram dan membandingkannya dengan berita dari sumber yang lebih tradisional.

"Siswa tidak akan bisa memahami berita palsu jika mereka tidak bisa membedakan antara apa yang mereka lihat di media sosial dan apa yang mereka baca di surat kabar," kata Mari Uusitalo, seorang guru berpengalaman di Helsinki.

Rekomendasi untuk Indonesia

Finlandia telah memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang tengah menghadapi tantangan serupa terkait misinformasi.

Di Indonesia, dengan populasi pengguna media sosial yang sangat besar dan kecepatan penyebaran informasi yang luar biasa, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2023, Indonesia adalah salah satu negara dengan penggunaan media sosial tertinggi di dunia, menjadikannya medan tempur yang sempurna bagi penyebaran hoaks.

Apa yang dapat dipelajari Indonesia dari Finlandia?

1. Integrasi Literasi Media dalam Kurikulum Nasional

Sama seperti Finlandia, Indonesia harus memasukkan literasi media sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, algoritma, dan teknik untuk memverifikasi informasi harus diajarkan sejak dini di berbagai mata pelajaran, dari bahasa hingga pendidikan kewarganegaraan.

2. Pelatihan Guru yang Menyeluruh

Salah satu kekuatan Finlandia adalah pelatihan guru yang komprehensif. Guru-guru dilatih tidak hanya untuk mengajar materi pelajaran, tetapi juga untuk membekali siswa dengan keterampilan berpikir kritis. Indonesia harus meningkatkan pelatihan guru dengan fokus pada kemampuan literasi digital dan media.

3. Meningkatkan Kepercayaan Publik

Selain reformasi pendidikan, Indonesia juga harus berfokus pada meningkatkan transparansi dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Kepercayaan publik yang rendah terhadap institusi dan media massa dapat menjadi faktor utama dalam penyebaran misinformasi.

Kesimpulan

Finlandia telah menunjukkan bahwa pendidikan adalah kunci dalam membangun generasi muda yang tangguh terhadap serangan misinformasi.

Dengan mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum nasional dan memperkuat kepercayaan publik, Finlandia telah menciptakan sistem pertahanan yang tangguh terhadap hoaks.

Indonesia, dengan tantangannya yang unik, dapat belajar dari pendekatan ini dan mulai membangun fondasi yang sama melalui reformasi pendidikan dan kebijakan publik yang mendukung. 

Di era digital ini, kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kebohongan bukan lagi pilihan, tetapi sebuah keharusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun