Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada dilema antara menuruti keinginan orang lain dan memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai "people pleasing" atau kebiasaan menyenangkan orang lain, adalah kecenderungan untuk selalu mengatakan "ya" pada permintaan orang lain, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu, energi, dan kebutuhan pribadi.
Sering kali, tindakan ini dianggap sebagai bentuk kebaikan atau pengorbanan, tetapi di balik itu semua ada beban berat yang dapat merusak kesejahteraan kita secara mental dan emosional.
Menyenangkan orang lain bisa menjadi respons adaptif terhadap lingkungan sosial. Ketika kita dibesarkan dengan harapan untuk menjaga harmoni dan menghindari konflik, kita belajar bahwa menunda kebutuhan sendiri untuk menyenangkan orang lain adalah cara yang efektif untuk mendapatkan penerimaan.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Ilene Cohen, terapis dan penulis buku When It's Never About You, kebiasaan ini, meski awalnya mungkin bermanfaat, pada akhirnya bisa menciptakan rasa benci, frustasi, dan bahkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri.
Alih-alih menjadi alat untuk membangun hubungan yang sehat, sikap terus-menerus memprioritaskan orang lain sering kali berujung pada keretakan hubungan dan kehilangan jati diri.
Kebiasaan yang Berakar pada Takut Akan Penolakan
Pada dasarnya, banyak orang yang merasa harus selalu menyenangkan orang lain karena takut akan penolakan.
Dalam budaya yang sering kali menekankan pentingnya kolektivitas dan harmoni sosial, terutama di Indonesia, konflik dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mengatakan "tidak" kepada orang lain sering dipandang sebagai tindakan yang tidak sopan atau kasar, yang dapat mengancam hubungan baik yang sudah terjalin.
Terapis seperti Jefferson Fisher, penulis buku The Next Conversation: Argue Less, Talk More, menyarankan bahwa salah satu tantangan terbesar yang dihadapi orang yang cenderung menyenangkan orang lain adalah ketakutan akan reaksi negatif orang lain.
Ketika seseorang terbiasa mendengar "ya" dari Anda, mereka mungkin merasa kecewa atau terkejut ketika Anda mulai mengatakan "tidak." Namun, Fisher menekankan bahwa reaksi negatif ini biasanya bersifat sementara. Dengan konsistensi, orang-orang di sekitar Anda akan belajar menghormati batasan yang Anda tetapkan, meski pada awalnya mungkin ada resistensi.