Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menumbuhkan Generasi Tangguh di Tengah Tantangan Kesehatan Mental di Sekolah dan di Rumah

18 Oktober 2024   23:34 Diperbarui: 19 Oktober 2024   01:14 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | sumber: penerbitbmedia.com

Senyum merekah menghiasi wajah ribuan siswa saat bel sekolah berbunyi, namun di balik keceriaan itu, tersimpan beban yang tak terlihat. Di balik seragam yang sama, setiap siswa membawa cerita dan perjuangan batin yang berbeda.

Di balik dinding-dinding kelas, di bawah tekanan buku pelajaran yang tebal dan jadwal ujian yang menanti, tersembunyi berbagai beban emosional yang sering kali tidak terlihat.

Sekolah bukan sekadar tempat belajar, melainkan arena penuh tekanan---akademis, sosial, bahkan mental. Dan di balik keberhasilan akademik seorang anak, kerap kali tersembunyi masalah kesehatan mental yang terabaikan.

Sekitar 6-7% anak usia sekolah di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, menurut laporan Kementerian Kesehatan pada tahun 2022. Meskipun angka ini tampak kecil, dengan populasi pelajar yang sangat besar, ini berarti jutaan anak membutuhkan perhatian khusus. 

Kesehatan mental anak sering terbungkus dalam topeng senyuman, prestasi, dan tekanan harapan---baik dari sekolah maupun rumah.

Psikolog klinis, Ratih Ibrahim, menyatakan, "Anak-anak tidak hanya harus berprestasi di sekolah, tetapi juga harus merasa aman secara emosional." Sebuah pernyataan yang mengingatkan kita bahwa di tengah upaya mengejar prestasi, kebutuhan emosional sering kali terpinggirkan. 

Jika terus dibiarkan, masalah-masalah ini dapat menumpuk dan menimbulkan dampak jangka panjang yang serius.

Sekolah: Lebih dari Sekadar Tempat Belajar

Di kota-kota besar Indonesia, sekolah telah berubah menjadi medan persaingan yang sangat ketat. Orang tua, dengan niat yang baik, sering kali mendorong anak-anak mereka untuk mencapai prestasi akademik tertinggi.

Namun, di balik dorongan ini, muncul tekanan yang kadang tak terlihat. Ujian yang konstan, tuntutan untuk meraih nilai sempurna, serta peringkat yang menentukan "kesuksesan" seorang siswa menjadi sumber stres yang berkelanjutan.

Menurut survei UNICEF pada tahun 2020, hampir 30% siswa di Indonesia merasa tertekan oleh beban akademik yang mereka hadapi setiap hari. Rasa tertekan ini bukan sekadar keluhan sementara; bagi sebagian siswa, tekanan tersebut berubah menjadi kecemasan yang akut, hingga mempengaruhi prestasi akademik mereka.

Selain itu, bullying---baik fisik maupun melalui media sosial---memperparah situasi, menjadikan sekolah sebagai tempat yang tidak aman secara emosional bagi banyak siswa.

Studi dari Plan International mengungkapkan bahwa satu dari tiga anak di Indonesia pernah mengalami bullying di sekolah. Pengalaman ini menimbulkan efek jangka panjang: kecemasan, depresi, bahkan rasa putus asa.

Di sisi lain, pandemi yang memaksa transisi ke pembelajaran daring justru menciptakan kesenjangan digital. Bagi anak-anak yang tidak memiliki akses teknologi memadai, ketidakmampuan mengikuti pelajaran membuat mereka semakin terisolasi, bukan hanya dari materi pelajaran tetapi juga dari interaksi sosial yang sangat penting bagi perkembangan psikologis mereka.

Rumah: Tempat Aman atau Sumber Tekanan?

Jika sekolah menjadi tempat utama tekanan akademis, rumah seharusnya menjadi pelindung emosional.

Namun, kenyataan di Indonesia seringkali berlawanan. Banyak anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang penuh tekanan, di mana harapan orang tua untuk sukses akademis kerap kali menjadi beban tambahan.

Gaya pengasuhan yang otoriter, disertai dengan kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental, dapat memperburuk kondisi psikologis anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa banyak anak di Indonesia yang mengalami tekanan psikologis akibat ekspektasi orang tua yang terlalu tinggi.

Orang tua sering kali mengasumsikan bahwa selama anak mereka sehat secara fisik, mereka juga baik-baik saja secara mental. Kenyataannya, tekanan di rumah bisa menjadi faktor utama penyebab gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Psikolog anak, Lita Gading, menjelaskan, "Banyak orang tua yang masih mengabaikan pentingnya kesehatan mental dan terlalu fokus pada prestasi akademis. Padahal, anak-anak juga membutuhkan dukungan emosional yang konsisten."

Kurangnya kesadaran ini, ditambah dengan stigma yang kuat terhadap masalah kesehatan mental di masyarakat, membuat anak-anak sulit untuk mencari bantuan. Mereka khawatir dianggap lemah atau bahkan tidak didengar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menghadapi masalah ini, solusi yang dapat diterapkan tidak hanya bergantung pada satu pihak, tetapi melibatkan sinergi antara sekolah, rumah, dan komunitas. Ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi kesehatan mental anak.

1. Pendidikan Kesehatan Mental di Sekolah

Salah satu langkah awal adalah memasukkan pendidikan tentang kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah. Anak-anak perlu belajar untuk memahami perasaan mereka, mengenali tanda-tanda stres, dan mengetahui kapan harus meminta bantuan. Selain itu, sekolah harus bekerja sama dengan konselor dan psikolog untuk memberikan layanan yang lebih komprehensif, termasuk menyediakan ruang yang aman untuk siswa yang membutuhkan dukungan.

2. Pelatihan untuk Guru dan Orang Tua

Guru dan orang tua adalah pilar utama dalam kehidupan seorang anak. Oleh karena itu, pelatihan tentang kesehatan mental sangat penting untuk membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan. Orang tua perlu belajar cara mendukung anak secara emosional, sementara guru harus lebih peka terhadap tanda-tanda masalah mental di kalangan siswa. Sebuah survei dari Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan dukungan emosional yang kuat dari orang dewasa di sekitar mereka cenderung lebih sukses, baik secara akademis maupun pribadi.

3. Mengurangi Tekanan Akademis

Sistem pendidikan di Indonesia perlu meninjau kembali pendekatan yang terlalu fokus pada nilai akademis. Anak-anak bukan hanya angka-angka di atas kertas, dan mereka tidak boleh dipaksa mengorbankan kesehatan mental mereka demi prestasi akademis semata. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan untuk menyeimbangkan antara prestasi dan kesejahteraan emosional cenderung tumbuh menjadi individu yang lebih resilient.

4. Membangun Akses yang Lebih Mudah ke Layanan Kesehatan Mental

Akses ke layanan kesehatan mental harus diperluas, terutama di daerah-daerah pedesaan dan bagi keluarga berpenghasilan rendah. Menyediakan konselor di sekolah, serta memperbanyak pusat kesehatan mental yang mudah dijangkau, adalah langkah penting untuk memastikan bahwa semua anak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Menghilangkan stigma seputar konsultasi psikologis juga harus menjadi prioritas utama.

Menanam Kesejahteraan Mental Sejak Dini

Membangun generasi yang sehat secara mental bukanlah tugas yang sederhana, tetapi sangat penting.

Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh menjadi individu yang kuat secara emosional, tanpa terbebani oleh tekanan yang tidak perlu. Ini adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, rumah, dan masyarakat.

Hanya dengan upaya yang terkoordinasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental anak-anak Indonesia.

Anak-anak adalah masa depan bangsa. Jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kesehatan mental mereka, maka kita dapat berharap mereka akan menjadi generasi yang produktif, bahagia, dan mampu menghadapi tantangan kehidupan.

Sebagaimana kata psikolog anak Lita Gading, "Kesehatan mental yang baik adalah fondasi bagi masa depan yang lebih cerah."

Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, diharapkan perubahan nyata dapat terjadi---baik di sekolah maupun di rumah.

Masa depan Indonesia bergantung pada kesejahteraan generasi mudanya, dan kesehatan mental mereka harus menjadi prioritas utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun