Selain masalah sosial dan lingkungan, hilirisasi nikel di Indonesia juga diwarnai oleh dinamika geopolitik yang rumit. Industri nikel Indonesia sangat bergantung pada investasi dan teknologi dari China, yang mendominasi proses pengolahan nikel global. Hal ini menimbulkan berbagai tantangan, terutama terkait dengan persaingan ekonomi antara China dan negara-negara Barat.
Pada 2023, Amerika Serikat melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) berupaya membatasi akses barang-barang buatan China ke pasar AS, termasuk baterai kendaraan listrik yang mengandalkan nikel dari Indonesia. Kebijakan ini memaksa Indonesia untuk mencari alternatif mitra di luar China dan AS, sambil terus berupaya membangun kapasitas teknologi dalam negeri.
Septian Hario Seto menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mendiversifikasi mitra internasionalnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melibatkan perusahaan-perusahaan dari Korea Selatan dan Jepang dalam proyek-proyek pengolahan nikel. Namun, ketergantungan Indonesia pada China masih menjadi isu yang sulit dihindari. Sebagian besar teknologi pengolahan nikel, terutama teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang digunakan di Morowali dan Weda Bay, berasal dari China. Hal ini membuat Indonesia berada dalam posisi sulit di tengah persaingan global antara China dan negara-negara Barat.
Tantangan Keberlanjutan dan Keadilan Sosial
Dalam konteks hilirisasi nikel, tantangan keberlanjutan tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga pada keadilan sosial. Masyarakat lokal di daerah penghasil nikel sering kali menjadi korban dari proses industrialisasi yang cepat dan masif. Mereka kehilangan akses terhadap tanah, air, dan sumber daya alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Rekomendasi kebijakan yang diajukan oleh Bahlil, seperti reformulasi alokasi dana bagi hasil dan kewajiban diversifikasi ekonomi pasca-tambang, menunjukkan bahwa pemerintah mulai menyadari pentingnya memastikan keberlanjutan jangka panjang dari hilirisasi nikel. Namun, implementasi kebijakan ini membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam industri ini.
Ke depan, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam hilirisasi nikel akan semakin kompleks, terutama dengan meningkatnya tekanan global untuk beralih ke energi terbarukan. Indonesia berada di persimpangan jalan: di satu sisi, negara ini memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam industri baterai dan kendaraan listrik dunia, tetapi di sisi lain, ada harga yang harus dibayar dalam bentuk kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Pilihan untuk Masa Depan
Hilirisasi nikel di Indonesia bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi atau persaingan global. Ini juga tentang pilihan-pilihan yang akan menentukan masa depan negara dan masyarakatnya. Apakah Indonesia akan memilih jalur pertumbuhan yang berkelanjutan, yang memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan? Atau akankah negara ini terus mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal?
Sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kekayaan tersebut digunakan dengan bijak dan adil. Hilirisasi nikel adalah cerminan dari dilema yang lebih besar yang dihadapi oleh negara ini---antara mengejar kemajuan ekonomi dan melindungi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Keputusan yang diambil hari ini akan berdampak jauh di masa depan, dan pertanyaan yang perlu kita tanyakan bukan hanya tentang seberapa besar keuntungan yang bisa kita dapatkan, tetapi juga tentang bagaimana kita ingin mewariskan bumi dan masyarakat yang lebih baik kepada generasi berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H