Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi Tambora, Ketika Rumah Menjadi Perangkap, Bukan Perlindungan

15 Oktober 2024   17:01 Diperbarui: 15 Oktober 2024   17:45 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi pasca kebakaran di Jalan Kalianyar IV, Tambora, Jakarta Barat, Selasa (15/10/2024). | Sumber: megapolitan.kompas.com

Pagi itu seharusnya menjadi awal yang biasa bagi warga Tambora. Matahari baru saja terbit, udara sedikit sejuk, dan orang-orang mulai beraktivitas.

Namun, di salah satu gang sempit wilayah padat penduduk itu, mimpi buruk sedang terjadi. Asap hitam mengepul dari salah satu rumah yang terbakar, merambat dengan cepat ke bangunan-bangunan lain di sekitarnya.

Tangisan dan jeritan terdengar di udara, namun bagi dua anak yang terjebak di dalam, pertolongan datang terlambat. Tragedi yang menimpa kakak-adik di Tambora ini menyayat hati. 

Dalam pelukan terakhir mereka, tersimpan keputusasaan dan rasa tak berdaya menghadapi kenyataan bahwa rumah mereka, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru berubah menjadi perangkap mematikan.

Mereka ditemukan saling berpelukan, mungkin untuk menguatkan satu sama lain di detik-detik terakhir kehidupan. Bagi kita yang berada jauh dari lokasi, berita ini hanyalah sekilas dari headline; tapi bagi mereka yang terlibat langsung, ini adalah kehilangan besar yang akan terus dikenang.

Tambora, Sebuah Potret Wilayah Padat Penduduk

Tambora, wilayah di Jakarta Barat, adalah salah satu kawasan terpadat di kota ini. Rumah-rumah berdempetan, gang-gang sempit tanpa ruang terbuka, dan tata kota yang seringkali menjadi bahan diskusi para ahli urban.

Di balik hiruk-pikuk aktivitas warga, tersembunyi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang menumpuk selama bertahun-tahun, salah satunya adalah akses terhadap perumahan yang layak.

Banyak rumah di Tambora dibangun secara bertahap, tanpa standar keselamatan yang memadai. Listrik yang disambung-sambung dari satu rumah ke rumah lain, gas yang disimpan di tempat yang sempit, serta akses evakuasi yang nyaris tidak ada, semuanya menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak.

Sayangnya, bagi banyak orang, hidup di daerah seperti ini bukan pilihan, melainkan satu-satunya jalan. Ketika harga tanah dan properti di Jakarta terus melambung, warga kelas menengah ke bawah harus beradaptasi dengan kenyataan hidup dalam kondisi sempit dan penuh risiko.

Rumah: Perlindungan atau Perangkap?

Kebakaran Tambora mengangkat pertanyaan besar: Apakah rumah-rumah di wilayah padat penduduk di Jakarta benar-benar aman?

Seringkali, kita memandang rumah sebagai tempat berlindung, tempat yang melindungi kita dari bahaya di luar. Namun, bagi banyak keluarga di Tambora, rumah bisa berubah menjadi perangkap ketika bencana datang.

Kasus kakak-adik yang terperangkap dalam kebakaran ini menunjukkan betapa rapuhnya keamanan di dalam rumah ketika standar keselamatan diabaikan. Api menyebar cepat karena bahan bangunan yang mudah terbakar dan minimnya sistem proteksi.

Di gang-gang sempit Tambora, mobil pemadam kebakaran sulit untuk mencapai titik api. Dengan akses yang terbatas, waktu menjadi musuh utama dalam upaya penyelamatan.

Tidak sedikit warga yang mengandalkan tabung gas untuk keperluan memasak. Di rumah-rumah kecil, gas disimpan di area yang sempit, kadang bahkan di ruang yang sama dengan peralatan elektronik.

Kebocoran gas, korsleting listrik, dan faktor lainnya menjadi kombinasi mematikan dalam skenario seperti ini. Dan yang paling menyedihkan, korban dalam kebakaran semacam ini seringkali adalah anak-anak yang belum tahu bagaimana cara menyelamatkan diri.

Mengapa Kebijakan Perumahan Perlu Diperketat?

Menyaksikan tragedi ini, kita harus meninjau kembali kebijakan perumahan di daerah-daerah padat penduduk. Ada dua hal yang perlu menjadi sorotan: pertama, perbaikan infrastruktur perumahan, dan kedua, edukasi masyarakat tentang keselamatan di rumah.

Pemerintah DKI Jakarta selama ini memang berupaya meningkatkan kualitas hunian di wilayah padat, salah satunya melalui program rumah susun. Namun, program ini belum mampu mengakomodasi semua kebutuhan warga, terutama mereka yang sudah terlanjur tinggal di rumah-rumah sempit di gang-gang sempit seperti Tambora.

Ada kebutuhan mendesak untuk merevitalisasi kawasan-kawasan padat penduduk dengan membangun perumahan yang lebih aman dan layak. Namun, pembangunan ini harus dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi, tanpa menggusur warga begitu saja.

Di sisi lain, edukasi tentang keselamatan di rumah harus ditingkatkan. Warga perlu mendapatkan pelatihan tentang cara menangani kebakaran, menggunakan alat pemadam kebakaran sederhana, hingga memeriksa instalasi listrik dan gas secara berkala.

Meskipun langkah ini tampak sederhana, dampaknya bisa sangat besar dalam mencegah tragedi di masa depan.

Ketimpangan Akses Terhadap Hunian Layak

Kebakaran di Tambora juga membuka mata kita terhadap ketimpangan akses terhadap hunian layak. Di satu sisi, ada warga yang tinggal di apartemen mewah dengan segala fasilitas keamanan yang lengkap.

Di sisi lain, ada warga yang hidup di rumah-rumah sempit dengan risiko tinggi terhadap bencana. Ketimpangan ini mencerminkan salah satu masalah besar di perkotaan: ketidakadilan dalam distribusi ruang dan sumber daya.

Jakarta, sebagai ibu kota, telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, dan apartemen mewah terus tumbuh.

Namun, di balik kemajuan itu, terdapat warga yang tertinggal, yang harus berjuang untuk mendapatkan tempat tinggal di sela-sela gemerlapnya kota. Mereka yang tinggal di kawasan padat seperti Tambora adalah korban dari perkembangan kota yang tidak merata.

Solidaritas Warga dan Harapan untuk Masa Depan

Namun, di tengah duka, kita juga melihat secercah harapan. Setelah kebakaran, banyak warga yang bahu-membahu membantu korban, memberikan bantuan seadanya, hingga menampung keluarga yang kehilangan tempat tinggal.

Solidaritas ini menunjukkan bahwa meskipun mereka hidup dalam kesulitan, semangat gotong royong masih hidup di tengah masyarakat.

Tragedi ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa masalah perumahan bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga soal keselamatan dan martabat manusia. Sudah saatnya pemerintah, swasta, dan masyarakat bersatu untuk menemukan solusi yang berkelanjutan.

Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap risiko yang dihadapi warga di kawasan padat penduduk. Perubahan harus dimulai dari sekarang, sebelum tragedi seperti ini terulang kembali.

Kakak-adik di Tambora mungkin telah pergi, tetapi kisah mereka harus menjadi pemantik bagi kita semua untuk bertindak. 

Kita harus memastikan bahwa tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan nyawa karena rumah yang seharusnya melindungi mereka justru berubah menjadi perangkap. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun