Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nadiem Out, Abdul Mu'ti In, Apa Arti Perubahan Ini bagi Pendidikan Indonesia?

14 Oktober 2024   19:46 Diperbarui: 14 Oktober 2024   20:04 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdul Mu'ti, Cendekiawan Islam | Sumber: tribunnews.com

Perubahan besar sedang terjadi di Kementerian Pendidikan Indonesia. Nadiem Makarim, yang dikenal dengan inisiatif-inisiatif inovatifnya dalam Merdeka Belajar, akan digantikan oleh Abdul Mu'ti, seorang tokoh pendidikan dari Muhammadiyah.

Keputusan ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, dengan berbagai spekulasi tentang bagaimana visi dan pendekatan Mu'ti akan memengaruhi arah kebijakan pendidikan Indonesia ke depan.

Seperti dilansir kompas.com (14/10/2024), Abdul Mu'ti telah ditunjuk untuk memimpin Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sebuah kementerian baru yang memisahkan urusan pendidikan dasar-menengah dari pendidikan tinggi. Pertanyaannya, apa arti perubahan ini bagi masa depan pendidikan Indonesia?

Visi Abdul Mu'ti: Fokus pada Nilai-Nilai Moral dan Pendidikan Karakter

Dengan latar belakang kuat di organisasi Muhammadiyah, Abdul Mu'ti membawa visi pendidikan yang berfokus pada penguatan nilai-nilai moral, spiritual, dan pendidikan karakter.

Dalam beberapa pernyataannya, Mu'ti menekankan pentingnya pendidikan sebagai "gerakan mencerdaskan Indonesia yang berkemajuan" dengan menempatkan nilai-nilai keagamaan dan moralitas sebagai pilar utama.

Visi ini secara jelas mencerminkan latar belakangnya dalam lembaga keagamaan, yang telah lama terlibat dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

Sebagai seorang pendidik dan pemimpin Muhammadiyah, Mu'ti tampaknya akan mendorong pendidikan yang lebih berorientasi pada pengembangan karakter siswa.

Pendekatan ini, meskipun dipandang penting oleh banyak pihak, mungkin akan sedikit berbeda dari visi Nadiem Makarim, yang lebih menekankan pada inovasi teknologi, transformasi digital, dan kemerdekaan belajar.

Di bawah Nadiem, kebijakan Merdeka Belajar mendorong otonomi sekolah dan guru untuk merancang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan siswa dan kontekstual dengan perkembangan zaman.

Namun, pendekatan Mu'ti tampaknya lebih berfokus pada pendidikan yang berbasis nilai, yang dirasa penting dalam membangun integritas dan karakter siswa di era modern ini.

Tantangannya adalah bagaimana ia akan menyeimbangkan pendidikan berbasis nilai dengan tuntutan dunia yang semakin terhubung secara digital. Apakah Mu'ti akan melanjutkan program Merdeka Belajar atau menghadirkan pendekatan baru yang lebih tradisional, merupakan salah satu isu krusial yang akan dinanti oleh publik.

Tantangan Kebijakan: Inovasi atau Tradisi?

Salah satu tantangan terbesar bagi Abdul Mu'ti adalah memutuskan bagaimana melanjutkan reformasi pendidikan yang telah dimulai oleh Nadiem Makarim.

Program Merdeka Belajar menawarkan otonomi lebih besar bagi sekolah dan guru dalam menyusun kurikulum, serta mendorong penggunaan teknologi untuk mengatasi tantangan-tantangan pendidikan.

Namun, kritik utama terhadap program ini adalah ketidakmerataan infrastruktur dan akses teknologi, terutama di daerah-daerah terpencil.

Menurut data dari Kementerian Pendidikan, hanya 60% sekolah di daerah terpencil yang memiliki akses internet yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa program digitalisasi yang digagas Nadiem belum sepenuhnya merata, yang memunculkan celah besar antara sekolah di perkotaan dan pedesaan.

Jika Abdul Mu'ti berfokus pada pendidikan karakter dan moral, mungkin ia akan mengalihkan perhatian dari aspek teknologi yang terlalu digarisbawahi oleh Nadiem, menuju penguatan sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas guru dan kurikulum berbasis nilai.

Namun, Abdul Mu'ti juga tidak dapat sepenuhnya mengabaikan tuntutan globalisasi dan era digital. Dunia pendidikan modern tidak lagi bisa dipisahkan dari teknologi dan inovasi.

Tantangannya adalah bagaimana ia dapat memadukan antara nilai-nilai tradisional yang ia junjung dengan tuntutan teknologi untuk mempersiapkan siswa bersaing di tingkat global. Apakah akan ada upaya untuk merangkul teknologi sambil memperkuat pendidikan berbasis moral? Ini adalah salah satu pertanyaan yang akan diuji seiring berjalannya waktu.

Reaksi Publik dan Pemangku Kepentingan

Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan ini mengundang reaksi beragam dari publik. Para pendukung Nadiem, terutama mereka yang bergerak di bidang teknologi pendidikan, merasa khawatir bahwa program-program digitalisasi yang telah berjalan akan berhenti atau kehilangan dukungan.

Misalnya, program Merdeka Mengajar, yang menyediakan platform digital untuk melatih dan meningkatkan keterampilan guru, dianggap sebagai salah satu inovasi penting di era Nadiem. Mereka khawatir bahwa fokus baru Abdul Mu'ti pada pendidikan karakter mungkin akan mengurangi dukungan terhadap aspek teknologi ini.

Di sisi lain, ada optimisme dari kelompok konservatif dan komunitas berbasis agama. Mereka menyambut baik kehadiran Abdul Mu'ti yang diharapkan akan membawa nilai-nilai moralitas yang lebih kuat ke dalam sistem pendidikan nasional.

Masyarakat di daerah-daerah yang lebih tradisional, di mana pendidikan berbasis agama memiliki pengaruh kuat, juga menantikan kebijakan yang lebih sejalan dengan aspirasi mereka. Bagi kelompok ini, pendidikan bukan hanya soal keterampilan akademik, tetapi juga tentang pembangunan karakter yang berbudi pekerti.

Namun, reaksi paling signifikan datang dari kalangan guru dan tenaga pendidik. Mereka adalah garda terdepan yang langsung merasakan dampak dari setiap perubahan kebijakan.

Bagi sebagian besar guru, reformasi yang diperkenalkan oleh Nadiem menuntut mereka untuk beradaptasi dengan cepat terhadap penggunaan teknologi dan metode pembelajaran baru.

Dengan adanya pergantian kepemimpinan, mereka berharap akan ada keseimbangan antara inovasi teknologi dan pembinaan karakter siswa.

Tantangan Pendidikan di Masa Depan

Dalam jangka panjang, Abdul Mu'ti dihadapkan pada tantangan besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Salah satu tantangan terbesar adalah ketimpangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Data menunjukkan bahwa daerah-daerah terpencil masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses ke fasilitas pendidikan yang memadai. Infrastruktur yang buruk, kualitas guru yang rendah, dan kurangnya dukungan teknologi menjadi faktor-faktor yang memperparah kesenjangan ini.

Selain itu, tingkat literasi dan kemampuan dasar siswa Indonesia juga masih menjadi perhatian serius. Menurut hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment), kemampuan literasi siswa Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Abdul Mu'ti harus menemukan cara untuk meningkatkan literasi dan kemampuan dasar ini, sembari tetap menjaga nilai-nilai moral dan spiritual yang ia yakini penting.

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah penguatan program pendidikan guru. Meningkatkan kapasitas dan kompetensi guru di seluruh Indonesia adalah kunci untuk memastikan bahwa pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua siswa, tidak hanya mereka yang tinggal di daerah perkotaan.

Dengan demikian, fokus Abdul Mu'ti pada pendidikan karakter dan moral dapat dilengkapi dengan upaya sistematis untuk memperkuat kemampuan dasar akademik dan literasi siswa.

Menuju Pendidikan yang Lebih Seimbang dan Inklusif

Perubahan di pucuk kepemimpinan Kementerian Pendidikan Indonesia ini memberikan peluang sekaligus tantangan besar bagi masa depan pendidikan nasional.

Abdul Mu'ti, dengan latar belakang keagamaan dan visinya yang berfokus pada nilai-nilai moral, diharapkan dapat membawa pendekatan yang lebih berimbang dalam menghadapi tantangan globalisasi dan digitalisasi.

Namun, ia juga harus memastikan bahwa reformasi yang telah dimulai oleh Nadiem Makarim, terutama dalam hal digitalisasi dan inovasi, tidak sepenuhnya ditinggalkan.

Untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas, Abdul Mu'ti perlu memadukan antara nilai-nilai tradisional yang ia junjung dengan tuntutan teknologi modern.

Jika ia berhasil menciptakan keseimbangan ini, pendidikan Indonesia tidak hanya akan mencerdaskan bangsa, tetapi juga mempersiapkan generasi yang mampu bersaing di era global.

Dengan demikian, perubahan ini dapat menjadi awal dari masa depan pendidikan yang lebih beragam, adil, dan relevan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun