Mari kita lihat sektor formal di Indonesia. Industri manufaktur dan pertanian pernah menjadi tulang punggung ekonomi, tetapi sekarang lebih terlihat seperti punggung orang tua yang lelah---tergopoh-gopoh, berusaha bertahan sambil mengangkat beban yang terlalu berat. Transformasi ekonomi yang seharusnya membawa kita ke era teknologi modern tampaknya tidak berjalan sesuai rencana.
Pemerintah ingin mengatasi ini dengan menarik lebih banyak investasi asing. Tetapi ada satu hal yang selalu terlupakan: birokrasi. Ya, birokrasi Indonesia ibarat labirin yang bahkan Minotaur pun mungkin tersesat.
Tidak ada yang suka berurusan dengan izin yang berbelit-belit, apalagi para investor asing. Hasilnya? Banyak yang memilih mencari tempat yang lebih ramah, seperti Vietnam, sementara Indonesia tetap berkutat dengan masalahnya sendiri.
Kondisi ini juga tidak membantu para lulusan yang terjebak dalam sistem pendidikan yang tidak relevan dengan pasar kerja. Dunia butuh programer, ahli teknologi, dan inovator, tetapi universitas masih sibuk memproduksi lulusan yang mahir menghafal teori tanpa tahu bagaimana menerapkannya di dunia nyata.
Jadi, apa yang bisa dilakukan lulusan ini setelah keluar dari kampus? Banyak yang mencoba peruntungan di sektor informal, menjadi freelancer, atau bahkan membuka usaha kecil yang tidak membutuhkan gelar sarjana.
Pendidikan, Keterampilan, dan Mimpi yang Terputus
Sebagai lulusan perguruan tinggi, Anda mungkin pernah mendengar bahwa pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik. Itu mungkin benar---di beberapa negara.
Tapi di Indonesia, jalan itu sering kali terasa seperti jalan tol yang penuh lubang: berkelok-kelok, penuh hambatan, dan akhirnya membawa Anda ke tempat yang tidak Anda inginkan.
Salah satu masalah terbesar adalah ketidakcocokan antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan kebutuhan pasar kerja. Menurut data, hanya 22% lulusan yang bekerja di bidang yang sesuai dengan pendidikan mereka. Ini menciptakan apa yang disebut sebagai mismatch keterampilan.
Jadi, jika Anda belajar ekonomi selama empat tahun, kemungkinan besar Anda akan berakhir bekerja sebagai pengemudi ojek online atau menjual barang di e-commerce.
Ini tidak hanya mengerikan bagi para lulusan, tapi juga bagi perusahaan yang kesulitan menemukan tenaga kerja dengan keterampilan yang sesuai.
Sementara industri teknologi berkembang pesat, hanya sedikit universitas yang menawarkan pendidikan berbasis teknologi yang cukup kuat. Jadi, ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja di bidang teknologi, mereka sering kali harus merekrut dari luar negeri.