Beberapa waktu lalu, seorang teman lama menelepon saya. Kami dulu kuliah di kampus yang sama, dan dia sekarang terjebak di rumah orang tuanya, menganggur, sambil dengan lesu memandangi layar laptopnya setiap hari, berharap ada pekerjaan yang datang mengetuk pintu, meski hanya lewat notifikasi email.
Yang lebih menarik bukan hanya keluhan klasik tentang sulitnya mencari kerja di Indonesia---itu sudah biasa---tapi tentang bagaimana pemerintah, menurutnya, tampaknya tidak terlalu peduli. Ia mengeluh sambil berkata,Â
"Program penciptaan lapangan kerja yang mana? Saya belum melihat apa pun selain website-website kosong."
Percakapan itu membuat saya berpikir. Mungkin kita bisa memandang pengangguran sebagai salah satu tren terbesar di Indonesia---sama seperti tren minuman boba, tapi lebih pahit dan jauh lebih mahal.
Ada jutaan orang yang mengalaminya, tapi hanya sedikit yang berani mengeluhkannya dengan keras, seolah-olah pengangguran adalah rahasia umum yang kita semua coba abaikan. Jutaan pemuda Indonesia menganggur, tapi kebanyakan dari kita, termasuk pemerintah, bertindak seolah-olah masalah itu akan hilang dengan sendirinya.
Jutaan yang Menganggur, Namun Masih Saja Kita Merasa Optimis
Mari kita lihat angka-angka. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia pada awal 2023 mencapai 5,86%. Artinya, hampir 8 juta orang tidak punya pekerjaan.
 Di balik statistik tersebut, ada banyak wajah muda yang kecewa dengan realitas pasca-kuliah. Ada yang berusia 22, ada yang 25, bahkan ada yang mendekati 30, semuanya terjebak dalam perburuan pekerjaan yang tampaknya tidak berujung.
Ironisnya, kita semua tahu bagaimana ceritanya. Pemuda seharusnya menjadi "bonus demografi," tetapi pada kenyataannya, mereka justru menjadi "beban statistik."
Saat orang-orang tua berbicara tentang generasi muda sebagai harapan bangsa, pemuda yang menganggur mungkin sedang sibuk merakit portofolio digital untuk melamar posisi magang---yang bahkan mungkin tidak dibayar.
Namun, pemerintah berulang kali menyebutkan program penciptaan lapangan kerja. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kartu Prakerja, dan sederet program lain muncul di berita utama.
Semua terdengar baik di atas kertas, tapi hasilnya di lapangan tidak semulus yang dijanjikan. Itu seperti restoran yang menyajikan menu lezat di Instagram, tetapi saat Anda sampai di sana, ternyata mereka hanya menjual air putih.