Saat kita membicarakan konstitusi, kita sering terjebak pada kata-kata rumit yang hanya dimengerti oleh segelintir orang.
Namun, konstitusi sebenarnya adalah fondasi utama negara. Jika dianalogikan, konstitusi adalah buku panduan yang harus dipegang erat, layaknya peta saat kita sedang tersesat di tengah hutan. Sayangnya, seringkali konstitusi dianggap enteng atau bahkan diselewengkan, terutama ketika kepentingan politik mendominasi.
Pertanyaannya: Mengapa begitu penting untuk mengembalikan konstitusi sebagai hukum tertinggi? Bagaimana kita sampai pada kondisi di mana konstitusi tampak lebih sebagai simbolis daripada pedoman praktis? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk kembali mengangkatnya sebagai penentu arah perjalanan bangsa?
Konstitusi: Batu Penjuru yang Terlupakan
Konstitusi seharusnya menjadi instrumen yang tidak bisa ditawar dalam setiap keputusan negara. Di sini, teori supremasi konstitusi muncul sebagai landasan penting dalam membangun negara hukum (rechtsstaat). Teori ini menyatakan bahwa konstitusi harus berada di atas semua bentuk hukum lain, memastikan bahwa tidak ada undang-undang, peraturan, atau kebijakan yang boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang tertulis di dalamnya.
Dalam konteks Indonesia, Konstitusi (UUD 1945) adalah tonggak yang menyatukan bangsa ini sejak kemerdekaan. Namun, ironisnya, kita telah melihat perubahan dan amandemen yang dilakukan berkali-kali sejak era reformasi, seringkali karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Seolah-olah, konstitusi bisa diubah sesuka hati tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi stabilitas bangsa.
Padahal, teori konstitusionalisme dari para ahli seperti Carl Schmitt menekankan bahwa konstitusi bukan hanya dokumen hukum, melainkan perwujudan dari "kehendak rakyat" yang tidak boleh dikhianati. Schmitt menjelaskan bahwa konstitusi mencerminkan nilai-nilai fundamental yang dipegang teguh oleh negara dan rakyatnya. Jika nilai-nilai ini terus diutak-atik, kita sedang bermain-main dengan fondasi negara itu sendiri.
Refleksi Historis: Menyusun Negara dari Awal
Untuk memahami bagaimana kita sampai pada titik ini, mari kita kembali ke masa awal berdirinya negara Indonesia. Saat itu, para pendiri bangsa berjuang untuk menyusun konstitusi yang bisa mempersatukan negara yang baru saja merdeka. Pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan. Dokumen ini, meski singkat, mencakup prinsip-prinsip dasar yang sangat kuat, seperti kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan pembagian kekuasaan yang tegas.
Namun, perjalanan konstitusi Indonesia tidak selalu mulus. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, konstitusi sering dijadikan alat untuk memperkuat kekuasaan individu atau kelompok tertentu. Presiden Soekarno, misalnya, menggunakan Dekrit Presiden 1959 untuk kembali ke UUD 1945 demi memperkuat sistem presidensial dan mengeliminasi peran partai politik. Di sisi lain, Presiden Soeharto menggunakan konstitusi sebagai legitimasi untuk memperpanjang kekuasaannya selama lebih dari tiga dekade, hingga konstitusi seolah kehilangan makna substansialnya.
Perubahan besar terjadi pasca-reformasi 1998. Amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali antara 1999-2002, memperkenalkan sistem yang lebih demokratis dan memperkuat peran lembaga-lembaga negara. Namun, di sinilah muncul tantangan baru: konstitusi sering kali dijadikan komoditas politik. Setiap kali ada masalah yang tak bisa diatasi oleh undang-undang, solusi yang ditawarkan adalah mengubah konstitusi.
Apakah itu jalan keluar terbaik?
Teori Supremasi Hukum: Pelindung dari Tiran dan Anarki
Teori supremasi hukum (rule of law) oleh Albert Venn Dicey juga menegaskan pentingnya konstitusi sebagai pelindung dari tirani dan anarki. Supremasi hukum menjamin bahwa semua orang, tanpa terkecuali, tunduk pada hukum yang sama. Tidak ada individu, bahkan pemerintah, yang berada di atas hukum. Ini sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan melindungi hak-hak rakyat.