Mari kita mulai dengan satu fakta yang sering diulang-ulang seperti rekaman rusak: UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah "tulang punggung" perekonomian Indonesia.
Kita mendengarnya di seminar-seminar ekonomi, ditulis di tajuk rencana media arus utama, sampai-sampai ibu-ibu pengajian pun tahu fakta ini. Tapi mari jujur sejenak---seberapa sering kita berhenti dan benar-benar mempertanyakan narasi ini?
Coba kita pikirkan. Jika UMKM benar-benar adalah tulang punggung perekonomian Indonesia, kenapa perekonomian negara ini sering terasa seperti orang yang bungkuk dan kesakitan? Apakah punggungnya salah urat? Atau mungkin, hanya mungkin, UMKM bukan tulang punggung yang kita butuhkan?
Sebagai tulang punggung perekonomian, UMKM memang menghasilkan angka-angka yang mengesankan. Kementerian Koperasi dan UKM melaporkan bahwa 64 juta UMKM berkontribusi terhadap lebih dari 60% PDB Indonesia dan menyerap hampir 97% tenaga kerja. Angka yang luar biasa, bukan?Â
Tapi mari kita berpikir lebih dalam. Apakah benar UMKM menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi negara? Atau justru keberadaan mereka lebih seperti plester yang menutup luka menganga? Mungkin UMKM ini lebih mirip dengan tulang kaki yang sering keseleo karena menopang terlalu banyak beban.
The Underdog Syndrome: Mengapa Semua Orang Jatuh Cinta pada UMKM?
Kita sebagai bangsa memang suka sekali dengan narasi pahlawan kecil melawan raksasa. David melawan Goliath. Tukang bakso versus franchise waralaba. Pedagang kaki lima versus mal mewah.Â
UMKM adalah versi modern dari kisah heroisme rakyat jelata. Tapi, seperti setiap kisah kepahlawanan, kita sering lupa bahwa ada harga yang harus dibayar, ada air mata yang tidak terlihat di balik cerita manis ini.
UMKM bukanlah superhero dengan jubah. Faktanya, banyak dari mereka bertahan dengan gaji seadanya, tanpa jaminan kesehatan, tanpa pensiun, dan dengan jam kerja yang lebih panjang dari hari dalam seminggu.Â
Mereka lebih mirip pejuang jalanan yang selalu siap bertarung demi kelangsungan hidup mereka. Apakah ini benar-benar yang kita inginkan dari "tulang punggung" perekonomian kita?Â
Tulang punggung seharusnya kuat, stabil, dan mendukung tubuh tanpa keluhan. Tapi UMKM? Mereka sering kali berjuang hanya untuk berdiri tegak.
UMKM: Tahan Banting, tapi Kenapa Terus Digeser?
Ada sebuah paradoks yang menarik di sini. Di satu sisi, kita memuji UMKM sebagai pilar ekonomi, tapi di sisi lain, kebijakan publik tidak selalu berpihak pada mereka.Â
Misalnya, kebijakan pajak yang kadang terlalu menekan, atau regulasi yang lebih mendukung bisnis besar daripada mereka yang beroperasi di bawah tenda di pinggir jalan.Â
UMKM seperti siswa teladan di sekolah yang selalu mendapatkan pujian, tapi tidak pernah diberi penghargaan atau dukungan yang layak. Mereka harus bertahan hidup di tengah derasnya arus globalisasi, digitalisasi, dan---tentu saja---krisis ekonomi global.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, siapa yang pertama kali terkena dampaknya? UMKM. Banyak dari mereka yang terpaksa menutup bisnis, merugi, bahkan bangkrut.Â
Saat itulah narasi "tulang punggung" ini terasa lebih sebagai slogan kosong daripada kenyataan. Tulang punggung yang kuat tidak seharusnya patah saat krisis, bukan?
Sirkus Bantuan untuk UMKM: Siapa yang Sebenarnya Mendapat Untung?
Ketika krisis datang, pemerintah dan banyak lembaga donor bergegas menyelamatkan UMKM dengan segala macam bantuan: subsidi bunga kredit, bantuan modal usaha, pelatihan gratis, hingga digitalisasi. Itu semua terdengar heroik dan mulia. Tapi tunggu sebentar, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan?
Bank dan lembaga keuangan, misalnya, sangat senang dengan program bantuan UMKM ini. Mereka mendapatkan insentif dari pemerintah untuk memberikan kredit murah, tetapi pada akhirnya, bunga tetap harus dibayar oleh pelaku UMKM.Â
Mereka mendapatkan pelatihan, ya, tapi apakah pelatihan itu benar-benar relevan atau hanya basa-basi untuk memenuhi laporan tahunan? Mungkin lebih banyak seminar yang diadakan daripada hasil nyata yang dirasakan.
UMKM tidak butuh banyak seminar atau pelatihan lagi. Mereka butuh infrastruktur yang memadai, akses pasar yang lebih besar, dan regulasi yang mendukung, bukan yang membatasi. Mereka butuh lebih dari sekadar basa-basi.
Tulang Punggung atau Tulang Ekor?
Jadi, jika UMKM bukan tulang punggung perekonomian, lalu mereka apa? Mungkin mereka adalah tulang ekor---bagian dari sistem yang penting, tapi sering dilupakan dan jarang dianggap serius.Â
Tulang ekor memang terlihat kecil dan remeh, tapi coba saja jatuh dan tulang ekor Anda terkena lantai. Anda akan langsung menyadari betapa pentingnya bagian kecil itu.Â
Tanpa tulang ekor, duduk akan menjadi pengalaman yang sangat tidak nyaman. Tanpa UMKM, roda ekonomi memang bisa tetap berputar, tapi banyak celah yang akan terasa menganga.
Namun, jika kita ingin benar-benar jujur pada diri sendiri, mungkin UMKM adalah tulang kaki yang telah keseleo karena terlalu banyak beban yang mereka pikul.Â
Mereka harus berjalan jauh, berlari lebih cepat, dan melompati rintangan yang lebih tinggi dibanding bisnis besar. Tapi kaki yang keseleo tidak bisa menopang tubuh dengan baik. Jika terus dipaksakan, justru akan memperburuk kondisi tubuh secara keseluruhan.
Tulang Punggung Itu Harus Kuat, Bukan?
Menariknya, narasi tentang UMKM sebagai tulang punggung perekonomian ini lebih seperti cerita dongeng yang terlalu lama kita percayai tanpa pernah benar-benar meninjau ulang kebenarannya.Â
UMKM memang memiliki peran penting, tapi jika kita terus-menerus menyebut mereka sebagai tulang punggung, tanpa memberikan dukungan yang memadai, apakah kita tidak sedang berbohong pada diri sendiri?
Sudah waktunya kita memperbarui narasi ini. UMKM adalah bagian penting dari ekonomi, tapi mereka bukanlah tulang punggung yang bisa menopang semuanya. Kita butuh struktur ekonomi yang lebih adil, di mana UMKM didukung, tapi tidak dibebani secara tidak proporsional.
Barangkali yang kita butuhkan adalah tulang punggung yang lebih sehat---kombinasi antara bisnis besar, menengah, dan kecil, yang semuanya mendapatkan porsi dukungan yang seimbang.Â
Sehingga ketika krisis datang, kita tidak lagi tergagap mencari siapa yang akan menyelamatkan siapa, dan ekonomi kita bisa berjalan dengan lebih mantap, tanpa khawatir keseleo lagi.
Dan mungkin, saat itu, kita bisa duduk dengan nyaman---tanpa tulang ekor yang sakit, tanpa tulang kaki yang keseleo, dan dengan punggung yang tegak berdiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H