Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rahasia di Balik Senyum Keriput Pasangan Tua

10 Oktober 2024   12:35 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sesuatu yang magis tentang melihat pasangan tua.

Mungkin itu adalah cara mereka duduk bersama di kursi taman, atau ketika mereka berjalan pelan menyusuri trotoar, menggandeng tangan satu sama lain dengan keheningan yang penuh makna.

Tetapi yang paling menakjubkan, bagi saya, adalah ketika saya melihat mereka tersenyum. Sebuah senyum kecil, tersirat di wajah yang sudah penuh keriput, seolah-olah di balik garis-garis usia itu tersimpan rahasia besar yang hanya mereka yang tahu: berapa kali mereka sudah saling memaafkan.

Beberapa waktu lalu, saya melihat pasangan tua ini keluar dari rumah sakit. Sang wanita, tampak lemah, digandeng dengan hati-hati oleh suaminya. Umur mereka kira-kira sudah melampaui 60 tahun, mungkin lebih. Mereka lalu naik bajaj, kendaraan sederhana yang, entah bagaimana, terasa pas untuk menggambarkan perjalanan hidup mereka. Bajaj yang bergoyang-goyang di jalan berlubang, seperti hidup yang juga tidak pernah mulus. Saya pun berpikir, betapa banyak badai kecil yang telah mereka lalui. Betapa banyak kata-kata yang mungkin pernah terlontar, melukai. Dan betapa banyak pula permintaan maaf yang akhirnya terucap, merajut kembali yang telah koyak.

Saya tersenyum kecil. Cepat sembuh, Bu. Sehat selalu, Bapak dan Ibu.

Seni Memaafkan

Setiap kali saya melihat pasangan tua yang tetap bersama setelah bertahun-tahun, selalu ada pertanyaan yang menggantung di kepala saya: Bagaimana mereka bisa bertahan? Apakah mereka selalu bahagia? Tentu saja tidak.

Saya yakin, seperti semua pasangan, mereka juga pernah mengalami perselisihan. Mungkin bukan perselisihan besar yang akan menghancurkan rumah tangga, tapi cukup untuk membuat salah satu dari mereka diam selama beberapa hari.

Coba bayangkan. Di satu hari yang biasa, sang suami mungkin pulang dengan wajah kusut. Kesalahan kecil, mungkin tentang hal remeh seperti pintu yang tak terkunci atau teh yang terlalu manis, bisa memicu amarah.

Dia mungkin melemparkan komentar tajam, sementara sang istri, lelah karena mengurus rumah seharian, hanya bisa terdiam. Kata-kata dingin melayang di udara, membeku di antara mereka, menciptakan jarak tak kasat mata.

Dan di sinilah tantangan sesungguhnya. Di sinilah seni memaafkan diuji. Memaafkan bukan sekadar mengucapkan "maaf" di permukaan, tapi tentang melonggarkan hati, menyerap rasa sakit kecil itu, dan memilih untuk tetap tinggal. Saling memaafkan adalah upaya diam-diam yang tak selalu terlihat---tetapi terasa. Seperti arus sungai yang tenang, yang tetap mengalir meski penuh bebatuan.

Bajaj, Simbol Perjalanan Cinta

Pasangan tua itu, duduk di dalam bajaj, seakan memberi kita gambaran nyata tentang cinta yang sudah menua. Cinta yang tidak perlu kata-kata mewah atau janji manis yang berlebihan.

Cinta yang sederhana. Mereka duduk bersebelahan, mungkin tanpa banyak bicara, tetapi kehadiran satu sama lain sudah lebih dari cukup. Sang suami, mungkin tidak mengucapkan kalimat puitis seperti dalam novel, tapi tangannya yang menggenggam tangan istrinya yang rapuh, itulah bentuk cinta yang paling sejati.

Bajaj yang mereka naiki, dengan getaran dan bunyi deru mesinnya, menjadi metafora yang pas untuk perjalanan cinta mereka. Ada guncangan, ada kebisingan, dan jalan yang mereka lalui tak selalu rata. Tetapi mereka tetap di sana, duduk bersama. Karena, pada akhirnya, 

cinta bukan soal seberapa lancar perjalanan itu, tapi tentang siapa yang duduk di sebelahmu ketika jalan terasa berat.

Konflik Kecil

Setiap hubungan, terutama yang sudah berlangsung puluhan tahun, pasti dipenuhi oleh konflik kecil. Mungkin ada saat di mana sang suami lupa ulang tahun pernikahan mereka yang ke-25.

Atau mungkin ada momen di mana sang istri tidak sengaja menyakiti ego suaminya dengan kata-kata yang tajam. Konflik kecil ini mungkin terlihat sepele, tapi di dalamnya tersembunyi kesempatan untuk memilih: apakah akan terus melukai, atau berhenti dan saling merangkul?

Pasangan tua yang saya lihat itu, saya yakin, sudah melalui ratusan, mungkin ribuan konflik kecil. Mungkin di masa muda mereka, pertengkaran itu terasa seperti akhir dunia. Tapi sekarang, di usia senja, mereka telah memahami bahwa konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan bagian alami dari perjalanan bersama.

Apa yang membuat mereka bisa terus bertahan? Jawabannya adalah memaafkan. Setiap kali salah satu dari mereka melukai yang lain---baik karena kesalahan kecil atau ketidaksengajaan---mereka memilih untuk merajut kembali hubungan itu dengan benang kesabaran dan maaf. Setiap kali hati terasa berat, mereka memilih untuk meletakkannya sebentar, mengosongkan dada, dan kembali melihat satu sama lain dengan penuh pengertian. Inilah kemenangan besar dalam pernikahan: bukan karena mereka tidak pernah berdebat, tetapi karena mereka selalu memilih untuk kembali bersama setelahnya.

Lebih dari Sekadar Bahagia

Kita sering terjebak dalam anggapan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang selalu bahagia. Tapi pasangan tua ini mengajarkan kita pelajaran penting: cinta yang sejati adalah cinta yang bertahan, meski kebahagiaan datang dan pergi. Mungkin, di masa-masa sulit, mereka tak selalu merasa bahagia. Tapi itu tidak berarti mereka menyerah. Mereka tidak lari saat badai datang, melainkan tetap bertahan, mencari tempat berteduh bersama, dan menunggu hujan reda.

Lihatlah senyum mereka. Senyum itu bukan hanya simbol dari kebahagiaan, tapi juga dari perjuangan yang panjang. Setiap keriput di wajah mereka adalah bukti dari ribuan hari yang mereka lewati, dari ribuan kata maaf yang mereka ucapkan, dari ribuan luka kecil yang sudah mereka sembuhkan bersama. Senyum itu, yang mungkin terlihat sederhana bagi orang lain, adalah lambang dari cinta yang tak pernah menyerah.

Sekuncup Doa

Jadi, ketika saya melihat pasangan tua itu keluar dari rumah sakit, saya tahu bahwa saya sedang menyaksikan sesuatu yang luar biasa. Memaafkan adalah hal yang sulit, tetapi mereka telah membuktikan bahwa itu adalah kunci dari cinta yang abadi.

Dan dalam kesederhanaan perjalanan mereka, saya hanya bisa berharap, "Cepat sembuh, Bu. Sehat selalu, Bapak dan Ibu." Karena setiap kali mereka duduk bersama di dalam bajaj itu, mereka mengajarkan kita semua pelajaran penting tentang cinta---bahwa cinta tidak perlu sempurna, hanya perlu bertahan.

Pada akhirnya, cinta adalah tentang tetap tinggal, meski dunia tak selalu berjalan sesuai keinginan. Ini bukan tentang mencari kebahagiaan yang sempurna, tetapi tentang menemukan makna dalam ketidaksempurnaan. Senyum keriput itu, itulah rahasianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun