Dari bubur ayam di Jakarta yang jadi topik perdebatan di meja makan, hingga bubur Manado yang penuh sayuran dan aroma pedas khas Sulawesi. Ada juga bubur ketan hitam yang manis legit, atau bubur sumsum yang lembut tapi hanya sempurna jika dicampur gula merah.
Lihat? Bahkan bubur manis pun punya misterinya sendiri.
Namun kemudian satu pertanyaan penting lagi muncul: Apakah ada hubungan antara jenis bubur yang kita suka dan kepribadian kita?
Misalnya, apakah orang yang suka bubur kacang hijau lebih sabar, karena butuh waktu lama untuk mengaduk kacang hijau yang benar-benar matang?
Apakah penyuka bubur pedas Manado adalah seorang yang lebih berani dalam hidup, karena mereka siap menghadapi sensasi panas dan menggigit dari perpaduan rempah-rempahnya? Bisa jadi.
Tapi, satu hal yang pasti, dalam segala kompleksitas bubur, semua orang berhak memiliki preferensi, karena toh, hidup ini juga adalah tentang memilih.
Namun, saya akan kembali lagi ke poin awal. Apakah selera kita tentang bubur benar-benar soal rasa? Atau justru tentang siapa yang kita ajak untuk makan?
Bubur, seperti yang saya yakini, adalah metafora untuk hubungan sosial.Â
Anda tidak akan menemukan orang yang makan bubur sendirian dan berdebat dengan dirinya sendiri tentang bubur diaduk atau tidak diaduk.
Tapi ketika Anda duduk bersama teman, keluarga, atau bahkan kekasih, tiba-tiba, bubur menjadi bahan pembicaraan yang menyenangkan.
Ada sesuatu yang sangat intim tentang berbagi semangkuk bubur dengan seseorang. Seperti menunggu sinyal di lampu merah, kadang semangkuk bubur membuat kita berhenti sejenak untuk sekedar menikmati momen kebersamaan.