Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya masalah internal keluarga. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
KDRT melanggar hak dasar seseorang untuk hidup bebas dari kekerasan, intimidasi, dan penindasan. Ketika seorang perempuan seperti Nihayatus tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga psikologis, ia kehilangan martabat dan hak untuk hidup dalam kedamaian.
Dalam banyak kasus KDRT, perempuan menjadi korban karena posisi mereka yang rentan, terutama di dalam budaya patriarkal yang masih mendominasi sebagian besar masyarakat. Pernikahan seringkali dijadikan alat kontrol, di mana istri dianggap harus tunduk dan patuh, meski itu berarti kehilangan otonomi atas tubuh dan pikirannya sendiri. Dalam kasus Nihayatus, ia bahkan dianiaya karena menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim. Penolakan ini, yang merupakan haknya sebagai individu, justru dianggap sebagai bentuk pembangkangan yang "harus dihukum".
Sikap dan perilaku seperti ini lahir dari budaya yang mengakar kuat, di mana perempuan sering kali dipandang sebagai properti atau objek pemuas keinginan suami. Dalam konteks pernikahan yang seharusnya dilandasi oleh kasih sayang, pengertian, dan kesetaraan, pandangan ini adalah sumber dari banyak kekerasan.
Trauma Psikologis dan Luka yang Tak Terlihat
Kekerasan fisik mungkin meninggalkan memar yang bisa dilihat mata, namun trauma psikologis yang ditimbulkan sering kali jauh lebih dalam dan lebih lama sembuhnya.
Seorang korban KDRT hidup dalam ketakutan yang konstan---takut pada pasangan, takut akan apa yang akan terjadi jika mereka mencoba melarikan diri, dan takut pada penilaian masyarakat yang kerap menyalahkan korban daripada pelaku.
Nihayatus adalah salah satu contoh nyata dari penderitaan yang dialami oleh banyak korban KDRT. Ia sudah melaporkan kekerasan yang dialaminya, sudah mencoba melarikan diri dengan bantuan keluarganya. Namun, pada akhirnya, ia kembali ke pelukan suaminya, mungkin karena tekanan emosional, harapan akan perubahan, atau mungkin karena ketidakmampuan melihat jalan keluar lain. Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya dukungan sosial bagi korban KDRT, baik dari keluarga, teman, maupun pihak yang berwenang.
Dukungan sosial tidak hanya penting untuk melindungi korban secara fisik, tetapi juga membantu mereka pulih secara mental. Korban perlu merasa didengar, dihargai, dan diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi situasi ini. Sayangnya, banyak korban KDRT yang merasa terisolasi dan malu, dan akhirnya memilih bertahan dalam situasi yang berbahaya.
Pendidikan dan Pencegahan: Solusi untuk Memutus Rantai Kekerasan
Pernikahan bukanlah sekadar upacara, tetapi sebuah tanggung jawab besar.
Ada kebutuhan mendesak untuk mengubah pandangan masyarakat tentang pernikahan, terutama dalam hal kesetaraan gender dan penghormatan terhadap hak-hak individu dalam rumah tangga. Pesantren, sebagai institusi pendidikan moral dan agama, dapat memainkan peran penting dalam memberikan pendidikan pranikah yang lebih mendalam dan praktis.
Dalam konteks pesantren di Madura, misalnya, pendidikan pranikah dapat menjadi salah satu upaya pencegahan terjadinya KDRT di masa mendatang. Pendidikan ini harus mencakup pemahaman tentang pentingnya komunikasi yang sehat, penghormatan terhadap pasangan, dan kesadaran akan bahaya kekerasan fisik maupun psikologis. Suami bukanlah raja di rumahnya; ia adalah partner setara yang harus saling menghormati dan mendukung istrinya.