Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Solidaritas untuk Korban Pelecehan Seksual, Sebuah Keberanian yang Patut Dicontoh

6 Oktober 2024   17:42 Diperbarui: 6 Oktober 2024   17:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual di lingkungan sekolah bukan hanya masalah individual, melainkan cerminan dari krisis sistemik yang lebih besar. Pada Jumat, 4 Oktober 2024, halaman SMA Negeri 3 Kota Pekalongan penuh dengan karangan bunga (Tribun Jateng, 4/10/2024).

Di antara ucapan belasungkawa yang biasa ditemukan di acara kematian, ada pesan-pesan penuh sindiran. "Turut Berdukacita atas Gugurnya Moral Oknum Guru SMA" dan "Usut Tuntas Pelecehan Seksual di Lingkungan Sekolah" tertulis pada karangan bunga kiriman alumni sekolah tersebut. Aksi ini menjadi bentuk solidaritas yang berbeda---tidak sekadar empati, tetapi seruan untuk perubahan yang lebih besar. Kasus pelecehan seksual oleh seorang guru Bimbingan Konseling (BK) kepada puluhan siswi memantik gerakan moral yang patut diapresiasi.

Namun, di balik solidaritas tersebut, tersimpan pelajaran penting yang seharusnya kita renungkan bersama. Solidaritas alumni ini menunjukkan bahwa persoalan pelecehan seksual, yang sering kali dianggap remeh, sebenarnya adalah ancaman serius bagi moralitas dan keamanan di lingkungan sekolah. Kita tidak bisa hanya terpaku pada rasa simpati tanpa menggali akar masalah yang lebih dalam dan merumuskan solusi konkret agar peristiwa serupa tidak terulang.

Akar Masalah: Budaya yang Mengabaikan Pelecehan

Kasus ini membuka mata kita tentang betapa lemahnya pengawasan terhadap perilaku guru dan kurangnya pemahaman soal batasan antara interaksi yang mendidik dengan yang melecehkan.

Guru BK yang seharusnya menjadi pelindung bagi siswa malah melontarkan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tak pantas, seperti soal ukuran bra dan kebiasaan seksual, kepada para siswi. Ini jelas merupakan bentuk pelecehan verbal yang menyakitkan dan merendahkan martabat.

Sayangnya, sebagaimana diakui oleh Kepala SMA Negeri 3 Kota Pekalongan, Yulianto Nurul Furqon, sekolah baru mengetahui kasus ini setelah sekian lama. Laporan tentang pelecehan verbal oleh guru tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak 2010. Namun, karena dianggap "hanya" pelecehan verbal dan pelaku telah meminta maaf, kasus ini sempat dianggap selesai. Padahal, permintaan maaf saja tidak cukup untuk menghapus dampak psikologis yang dialami oleh para korban.

Dalam konteks yang lebih luas, kurangnya edukasi seksualitas yang komprehensif dan kesadaran tentang pentingnya pengawasan terhadap perilaku guru menjadi masalah mendasar. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam mengenai seksualitas dan hak-hak individu, pelecehan seperti ini akan terus terjadi dan dianggap hal yang "biasa." Lebih buruk lagi, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita cenderung menormalisasi pelecehan seksual, terutama terhadap perempuan.

Dampak yang Tidak Bisa Diabaikan

Dampak dari pelecehan seksual, baik verbal maupun fisik, sangat besar. Para korban sering kali mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan. Mereka tidak hanya kehilangan rasa aman di lingkungan sekolah, tetapi juga mungkin akan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sosial dan akademis mereka. Di sisi lain, reputasi sekolah yang selama ini dikenal sebagai institusi pendidikan yang baik juga ikut tercoreng.

Selain itu, masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan terhadap sekolah sebagai tempat yang aman bagi anak-anak mereka. Jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, bukan hanya SMA Negeri 3 Pekalongan yang akan mengalami dampaknya, tetapi juga seluruh institusi pendidikan di Indonesia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan berkembang malah menjadi tempat di mana pelecehan terjadi dan tidak direspons dengan tepat.

Solidaritas sebagai Tindakan Berani

Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, solidaritas yang ditunjukkan oleh para alumni SMA Negeri 3 Pekalongan memberikan harapan. Kiriman karangan bunga dan aksi dukungan moral yang mereka lakukan adalah bentuk keberanian yang patut dicontoh. Mereka tidak hanya menunjukkan simpati kepada para korban, tetapi juga bersikap tegas bahwa pelecehan seksual tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka menuntut penyelesaian kasus ini hingga tuntas dan siap mendampingi para korban dalam proses hukum serta pemulihan psikologis.

Dukungan alumni ini juga menjadi simbol penting bahwa pelecehan seksual adalah masalah kita bersama. Ketika sekolah dan pemerintah gagal melindungi siswa, masyarakat---termasuk alumni---harus tampil ke depan untuk menunjukkan bahwa tindakan pelecehan tidak boleh dibiarkan. Solidaritas ini adalah bentuk keberanian yang menantang budaya diam dan ketidakpedulian.

Langkah-langkah Konkret untuk Mencegah Pelecehan Seksual

Namun, solidaritas saja tidak cukup. Perlu ada langkah konkret untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di sekolah. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Edukasi Seksualitas yang Komprehensif

Sekolah harus menyediakan edukasi seksualitas yang komprehensif bagi guru, siswa, dan orang tua. Pemahaman yang benar mengenai batasan-batasan seksual dan hak-hak individu akan membantu mencegah pelecehan seksual. Pelatihan bagi para guru mengenai etika dan interaksi dengan siswa juga sangat penting.

2. Pengawasan yang Lebih Ketat terhadap Guru

Sekolah dan dinas pendidikan harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap perilaku guru, terutama yang berpotensi melakukan pelecehan. Kode etik yang jelas harus ditegakkan dan pelanggaran harus ditindak tegas, tanpa memandang status atau posisi pelaku.

3. Perlindungan yang Lebih Baik bagi Korban

Para korban pelecehan harus mendapatkan perlindungan yang memadai, termasuk akses ke layanan konseling psikologis. Kerahasiaan identitas korban harus dijamin untuk melindungi mereka dari tekanan sosial. Selain itu, sekolah perlu membentuk tim khusus yang terlatih untuk menangani kasus kekerasan seksual secara profesional.

4. Kolaborasi dengan Masyarakat dan Pemerintah

Masyarakat, termasuk alumni, dapat memainkan peran penting dalam memantau dan mengawasi jalannya proses penyelesaian kasus pelecehan seksual. Sementara itu, pemerintah harus memperkuat regulasi yang melindungi anak-anak dari kekerasan seksual di sekolah, serta mengalokasikan anggaran yang cukup untuk program-program pencegahan.

Perlawanan Melawan Pelecehan Adalah Tanggung Jawab Bersama

Kasus pelecehan seksual di SMA Negeri 3 Pekalongan seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Kita tidak boleh lagi menganggap enteng tindakan pelecehan seksual, baik di sekolah maupun di tempat lain. Solidaritas yang ditunjukkan oleh alumni SMA Negeri 3 adalah contoh nyata bahwa masyarakat bisa dan harus berperan aktif dalam melawan budaya pelecehan.

Dengan langkah-langkah konkret dan kerja sama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah, kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa. Inilah saatnya bagi kita untuk bersatu dan memastikan bahwa pelecehan seksual tidak lagi menjadi bagian dari cerita sekolah-sekolah di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun