Beberapa pertanyaan dari panelis tampak sederhana, tetapi sebenarnya cukup menguji. Misalnya, seorang panelis bertanya, "Bagaimana kalian akan mengatasi perbedaan pendapat di antara anggota OSIS jika kalian terpilih?" Jawaban dari para calon cukup beragam, tetapi yang menarik adalah bagaimana mereka mencoba menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang lebih diplomatis dan inklusif. Mereka belajar, bahwa menjadi pemimpin bukan berarti harus selalu benar, melainkan harus mampu mendengarkan dan bekerja sama dengan orang lain.
Hari H: Suasana Layaknya Pemilu
Hari pencoblosan tiba. Suasana di sekolah begitu hidup, namun tertata rapi. Simulasi pemilihan dilakukan dengan sangat serius, seperti pemilihan umum yang sebenarnya. Ada KPU sekolah yang mengatur jalannya pemilihan, Panitia Pengawas (Panwas) yang memastikan bahwa semua berjalan dengan adil dan transparan, serta saksi-saksi dari setiap calon yang mengawasi proses pencoblosan.
Setiap siswa yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih menerima surat suara. Mereka masuk ke bilik suara satu per satu, lalu mencoblos pasangan calon yang menurut mereka paling pantas memimpin OSIS. Ketika saya melihat anak-anak itu mengantre dengan tertib dan mengikuti proses dengan sangat disiplin, saya merasa bahwa ini adalah pelajaran demokrasi yang sangat berharga bagi mereka. Mereka belajar bahwa suara mereka berarti dan bahwa setiap pilihan yang mereka buat memiliki konsekuensi.
Tidak ada ketegangan berlebihan, tidak ada kampanye negatif, dan yang terpenting, tidak ada saling menjatuhkan di antara para kandidat. Meskipun ada persaingan, semuanya berjalan dengan penuh kedewasaan. Saya tersentuh melihat bagaimana siswa-siswa ini belajar untuk bersaing dengan sehat dan tetap menjaga hubungan baik satu sama lain.
Hasil yang Mempersatukan
Saat hasil pemilihan diumumkan, suasana sekolah kembali bergemuruh. Ada rasa penasaran yang memenuhi ruang aula, di mana seluruh siswa berkumpul untuk mendengar siapa yang akan menjadi pemimpin OSIS mereka untuk periode 2024-2025. Ketika pasangan terpilih diumumkan, tidak ada sorak-sorai berlebihan dari kubu pemenang, dan yang kalah pun tidak menunjukkan tanda-tanda kecewa yang mendalam.
Sebaliknya, saya melihat para kandidat yang terpilih merangkul lawan mereka dengan hangat. Ada semacam solidaritas yang terbentuk di antara mereka, seolah-olah mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk kebaikan sekolah. OSIS yang baru terbentuk tidak hanya terdiri dari pemenang, tetapi juga dari seluruh kandidat yang bersatu menjadi tim yang solid.
Bagi saya, ini adalah pelajaran besar. Proses pemilihan OSIS ini bukan hanya tentang memilih siapa yang akan memimpin, tetapi lebih kepada bagaimana anak-anak kami belajar untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Mereka belajar bahwa dalam sebuah demokrasi, kemenangan bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab yang lebih besar.
Pelajaran Berdemokrasi di Usia Dini
Melihat semua proses ini, saya semakin yakin bahwa sekolah bukan hanya tempat untuk belajar akademik, tetapi juga tempat untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan. Pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS di SMPN L Sidoharjo ini menjadi salah satu contoh nyata bagaimana anak-anak kami belajar berdemokrasi sejak dini.
Mereka tidak hanya belajar tentang pentingnya suara mereka, tetapi juga tentang bagaimana bersaing secara sehat, bekerja sama, dan menghargai perbedaan. Pada akhirnya, yang menang atau kalah bersatu dalam kepengurusan OSIS yang baru, dan inilah esensi dari demokrasi yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI