Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stop Diet, Mari Hidup Sehat dengan Real Food!

4 Oktober 2024   14:13 Diperbarui: 4 Oktober 2024   14:16 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: medicalareal.blogspot.com

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menemukan bahwa seseorang yang membawa bekal makanan sehat ke kantor atau sekolah langsung dianggap sedang "diet".

Padahal, makanan sehat---atau yang kini dikenal dengan istilah real food---bukanlah suatu tren diet semata, melainkan makanan yang benar-benar dibutuhkan oleh tubuh. Sebaliknya, jika kita melihat orang yang membawa fast food seperti burger atau kentang goreng, hampir tidak ada yang menanyakan apakah mereka sedang "bulking" atau berusaha meningkatkan berat badan dengan cara yang tidak sehat. Fenomena ini menunjukkan adanya salah kaprah di tengah masyarakat mengenai makanan sehat dan diet.

Membicarakan makanan sehat dalam konteks modern selalu menarik, terutama ketika istilah "diet" kerap menjadi kata yang begitu membebani banyak orang. Banyak dari kita beranggapan bahwa diet adalah usaha sementara yang dilakukan hanya untuk mencapai berat badan ideal.

Akan tetapi, diet pada dasarnya hanya berarti pola makan seseorang---apa yang kita konsumsi setiap harinya. Secara etimologis, kata diet berasal dari bahasa Yunani "diaita" yang berarti "cara hidup" atau "gaya hidup" . Dari sini kita bisa melihat bahwa pola makan sehat, yang sering disalahartikan sebagai diet, sebenarnya hanyalah cara untuk hidup dengan lebih baik, lebih sehat, dan lebih seimbang.

Salah Kaprah Tentang Diet di Masyarakat

Pengalaman sehari-hari sering menunjukkan bahwa membawa makanan sehat seperti kentang rebus dan telur ke kantor atau sekolah membuat kita disangka sedang menjalani program diet ketat.

Hal ini diperkuat dengan pengalaman pribadi, misalnya, "gua cuma makan kentang rebus 2 sama telur rebus 2, dikira lagi diet padahal cuma buat nambah kalori harian." Ini adalah contoh betapa biasnya persepsi masyarakat tentang apa yang dianggap normal dan apa yang dianggap sebagai diet. Sebaliknya, ketika seseorang membawa fast food, junk food, atau makanan yang sarat karbohidrat dan lemak, jarang sekali ada yang mempertanyakan hal tersebut.

Mengapa persepsi ini bisa terjadi? Sebagian dari kita mungkin tak sadar bahwa tren makanan sehat dan diet hanya terlihat berbeda di permukaan, padahal mereka seharusnya merupakan bagian dari gaya hidup kita sehari-hari. Seiring dengan popularitas vlogger makanan dan fenomena mukbang yang menyajikan porsi makan berlebihan sebagai konten hiburan, persepsi kita tentang porsi makanan yang normal pun menjadi terdistorsi. Pola makan yang seharusnya sederhana dan bergizi kini terlihat sebagai sesuatu yang ekstrem.

Real Food: Kebutuhan Tubuh, Bukan Tren Diet

Mengkonsumsi real food seharusnya menjadi kebiasaan normal, bukan sesuatu yang dilabeli sebagai "diet."

Tubuh manusia secara alami membutuhkan makanan yang berasal dari bahan-bahan alami, seperti sayuran, buah-buahan, protein, dan karbohidrat kompleks, untuk menjaga kinerjanya. Artikel yang diterbitkan oleh Harvard Business Review menekankan bahwa makanan yang kita konsumsi tidak hanya berperan sebagai bahan bakar fisik, tetapi juga mempengaruhi performa kognitif . Misalnya, makanan yang tinggi lemak seperti burger dan makanan cepat saji membuat tubuh bekerja lebih keras untuk mencerna, yang pada akhirnya mengurangi aliran oksigen ke otak dan menyebabkan rasa kantuk dan lesu.

Sebaliknya, makanan yang melepaskan energi secara bertahap, seperti kentang rebus, telur, dan sayuran, memberikan aliran energi yang stabil dan menjaga konsentrasi sepanjang hari. Ini adalah salah satu alasan mengapa pilihan makanan sehat bukan sekadar upaya menjaga berat badan, tetapi juga menjadi penentu penting dalam menjaga produktivitas, terutama di lingkungan kerja yang sibuk.

Seperti yang dijelaskan dalam riset, konsumsi makanan yang rendah nilai gizi seperti junk food justru merugikan produktivitas seseorang dalam jangka panjang . Ketika makan siang yang tidak sehat dipilih karena dianggap lebih cepat atau lebih praktis, hal itu hanya menyisakan energi yang kurang optimal untuk menyelesaikan tugas-tugas penting pada sisa hari itu. Dengan kata lain, pilihan makan siang yang buruk dapat membuat kita kehilangan fokus dan produktivitas.

Makanan Sehat untuk Kesehatan Mental dan Fisik

Lebih jauh lagi, kebiasaan mengkonsumsi real food tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik, tetapi juga mental.

Studi yang diterbitkan oleh British Journal of Health Psychology menunjukkan bahwa semakin banyak konsumsi sayuran dan buah, seseorang cenderung menjadi lebih bahagia, lebih kreatif, dan lebih berenergi . Alasannya? Buah dan sayuran kaya akan nutrisi penting yang membantu produksi dopamin, sebuah neurotransmitter yang berperan dalam meningkatkan rasa ingin tahu, motivasi, dan keterlibatan. Kandungan antioksidan dalam sayuran juga membantu mengurangi peradangan dalam tubuh, memperbaiki daya ingat, serta meningkatkan suasana hati.

Fakta ini menjadi semakin relevan dalam masyarakat modern yang kerap dihadapkan pada berbagai tekanan pekerjaan dan sosial. Konsumsi makanan sehat yang konsisten dapat menjadi solusi sederhana namun efektif untuk menjaga keseimbangan mental di tengah tuntutan hidup yang tinggi.

Perubahan Persepsi Melalui Edukasi dan Kebiasaan

Pola pikir tentang makanan sehat perlu diubah dari "diet" menjadi "normal."

Masyarakat perlu didorong untuk melihat bahwa makan real food adalah langkah bijak untuk hidup lebih sehat, bukan sekadar upaya untuk menurunkan berat badan atau mengikuti tren diet tertentu. Salah satu cara paling efektif untuk mengubah kebiasaan ini adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya makanan yang seimbang dan bergizi dalam menjaga produktivitas dan kesehatan secara keseluruhan.

Kita bisa memulainya dengan perubahan kecil, seperti membawa bekal sehat ke kantor, menyediakan camilan sehat di meja kerja, atau membiasakan diri untuk memilih makanan yang mendukung performa otak. Ron Friedman dalam artikelnya menegaskan pentingnya membuat keputusan tentang makanan sebelum kita lapar, karena ketika kita lapar, kita cenderung memilih makanan yang kurang sehat . Strategi seperti ini dapat membantu kita untuk lebih konsisten dalam memilih makanan yang baik bagi tubuh kita.

Kesimpulan

Mengkonsumsi real food seharusnya menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari, bukan sesuatu yang dianggap sebagai "diet" atau upaya penurunan berat badan semata.

Makanan sehat adalah kebutuhan dasar tubuh manusia untuk berfungsi dengan optimal, baik secara fisik maupun mental. Dengan edukasi yang tepat dan perubahan kebiasaan yang konsisten, kita dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap makanan sehat dan mulai melihatnya sebagai gaya hidup yang wajar dan normal.

Persepsi tentang diet harus dibenahi agar tidak lagi dianggap sebagai hal ekstrem, melainkan sebagai bagian dari hidup yang seimbang, sehat, dan produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun