Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggugat Paradigma Pendidikan: Mengapa Kekerasan di Sekolah Masih Menjadi Bagian dari Sistem Kita?

3 Oktober 2024   05:20 Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:30 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik pintu kelas yang tertutup, di ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pengetahuan dan karakter, banyak siswa hidup dalam ketakutan.

Sekolah, yang dalam imajinasi ideal kita adalah tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang, justru sering kali menjadi arena kekerasan yang tersembunyi di balik formalitas seragam dan disiplin. Bukan hanya karena aturan yang ketat atau metode pengajaran yang kaku, tetapi karena sistem pendidikan kita telah menginternalisasi cara berpikir bahwa hukuman fisik dan kekerasan emosional adalah alat sah untuk mendisiplinkan siswa.

Kita sering mendengar, "Anak-anak harus didisiplinkan." Namun, ketika "disiplin" berarti hukuman fisik atau pelecehan emosional, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar mendidik atau sekadar melanggengkan pola kekuasaan yang salah? Kasus-kasus kekerasan di sekolah terus bermunculan di media, dari hukuman squat jump yang menyebabkan kematian seorang siswa di Sumatera Utara, hingga pelecehan seksual oleh guru di Gorontalo yang merusak masa depan seorang anak. Meskipun kisah-kisah tragis ini telah mengejutkan publik, tampaknya ada perasaan apatis yang mengendap di masyarakat kita, seakan-akan kekerasan di sekolah adalah harga yang harus dibayar untuk mendisiplinkan generasi muda.

Pertanyaan besar yang harus kita tanyakan sekarang adalah: mengapa kekerasan di sekolah masih dianggap normal?

Kekerasan di Sekolah: Sebuah Warisan Budaya Kekuasaan

Kekerasan dalam sistem pendidikan kita tidak muncul dari ruang hampa. Ini adalah warisan dari cara kita memandang kekuasaan dan otoritas. Guru di Indonesia sering kali dianggap sebagai figur yang tidak bisa digugat.

Mereka tidak hanya bertugas mengajar materi akademis, tetapi juga bertindak sebagai "penegak disiplin" yang kadang-kadang diizinkan untuk menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk pengajaran. Dalam konteks budaya ini, ada kepercayaan yang mengakar bahwa hukuman keras diperlukan untuk "mengajari anak-anak agar patuh."

Namun, pendekatan ini mengabaikan satu fakta penting: kekerasan tidak pernah menjadi alat yang efektif untuk pendidikan. Kekerasan hanya menghasilkan ketakutan, bukan penghormatan. Ia membangun tembok antara siswa dan guru, mengaburkan fungsi sekolah sebagai tempat pembelajaran menjadi tempat hukuman. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak sedang membangun karakter siswa, tetapi menciptakan lingkungan di mana kekuasaan lebih penting daripada kebijaksanaan, dan ketundukan lebih dihargai daripada rasa ingin tahu.

Apakah Kekerasan Adalah Alat untuk Mendidik?

Dalam beberapa kasus yang mencuat, orang tua dan guru masih sering berargumen bahwa hukuman fisik atau verbal adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Bagi banyak orang dewasa, kekerasan ini adalah sesuatu yang mereka alami ketika masih bersekolah, dan mereka percaya bahwa cara ini "berhasil" pada diri mereka. Namun, psikologi modern menunjukkan bahwa metode pendidikan berbasis kekerasan hanya akan menghasilkan individu yang hidup dalam ketakutan atau pemberontakan, tanpa rasa hormat sejati kepada otoritas.

Studi global yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan, baik di rumah maupun di sekolah, cenderung menunjukkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku di kemudian hari. Kekerasan bukan hanya menyebabkan luka fisik; ia juga mencederai jiwa anak-anak yang menjadi korbannya. Di Indonesia, hasil serupa terlihat dalam berbagai survei yang menunjukkan peningkatan stres dan kecemasan di kalangan siswa yang kerap menerima hukuman fisik atau verbal di sekolah.

Ketika kita berbicara tentang mendisiplinkan anak-anak, kita sering lupa bahwa tujuan sebenarnya dari disiplin bukanlah untuk membuat mereka tunduk, tetapi untuk membantu mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Disiplin sejati adalah tentang mendidik, bukan menghukum. Dan untuk itu, kita perlu menemukan pendekatan yang lebih manusiawi dalam membimbing anak-anak kita.

Relasi Kuasa yang Menyimpang: Guru, Siswa, dan Manipulasi

Salah satu aspek yang sering kali terlewat dalam diskusi tentang kekerasan di sekolah adalah konsep relasi kuasa. Anak-anak berada dalam posisi yang lemah di dalam lingkungan sekolah. Mereka bergantung pada guru untuk mendapatkan pengetahuan, nilai, dan pada beberapa kasus, perlindungan. Ketergantungan ini menciptakan ketidakseimbangan kuasa yang sangat besar, dan ketika kekuasaan ini disalahgunakan, hasilnya bisa menghancurkan.

Dalam kasus pelecehan seksual di Gorontalo, misalnya, guru yang memanfaatkan posisi otoritasnya untuk mengeksploitasi seorang siswa bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan kepercayaan dasar yang harus ada dalam hubungan guru-murid. Relasi kuasa yang tidak sehat ini menciptakan ruang bagi manipulasi, di mana anak-anak tidak hanya menjadi korban fisik, tetapi juga korban emosional. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi, dan bahkan merasa bersalah atas sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan mereka.

Di sini kita perlu bertanya: bagaimana kita bisa membiarkan anak-anak kita, yang seharusnya berada di bawah perlindungan guru, justru menjadi korban dari orang-orang yang diberi mandat untuk melindungi mereka? Mengapa relasi kuasa yang berbahaya ini masih dibiarkan tanpa pengawasan ketat?

Mengubah Paradigma: Menuju Pendidikan Berbasis Kemanusiaan

Meskipun kekerasan di sekolah tampaknya telah menjadi bagian dari sistem yang ada, bukan berarti kita tidak bisa mengubahnya. Kita perlu memulai perubahan dari cara kita mendefinisikan peran guru, siswa, dan sekolah itu sendiri. Pertama-tama, kita harus menolak gagasan bahwa otoritas otomatis berarti kekuasaan untuk mendisiplinkan melalui kekerasan. Otoritas harus dilihat sebagai tanggung jawab untuk membimbing, bukan sebagai lisensi untuk menghukum.

Model pendidikan berbasis empati, seperti yang diterapkan di Finlandia dan beberapa negara Eropa lainnya, menawarkan solusi yang menarik. Di sana, konsep discipline without punishment diterapkan secara efektif, dengan fokus pada dialog, pengertian, dan resolusi konflik yang sehat. Guru tidak lagi dilihat sebagai sosok otoritatif yang menakutkan, tetapi sebagai mentor yang membantu siswa memahami kesalahan mereka dan memperbaikinya. Hasilnya adalah lingkungan belajar yang lebih terbuka, di mana siswa merasa dihargai dan didengar, bukan ditakuti.

Indonesia bisa mengambil inspirasi dari model ini. Salah satu langkah pertama adalah melalui pelatihan intensif bagi guru mengenai manajemen kelas yang tidak berbasis kekerasan. Guru perlu diajarkan bagaimana mendisiplinkan dengan cara-cara yang membangun, bukan merusak. Selain itu, penting juga untuk melibatkan siswa dalam proses pendidikan disiplin ini, sehingga mereka memahami bahwa disiplin bukanlah hukuman, tetapi kesempatan untuk belajar dan tumbuh.

Mengembalikan Kepercayaan: Peran Orang Tua dan Masyarakat

Orang tua sering kali menjadi saksi pasif terhadap kekerasan di sekolah, baik karena takut berbicara atau karena tidak tahu harus berbuat apa. Namun, sebagai bagian dari masyarakat, orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi dan menuntut perubahan. Pendidikan anak-anak bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah; ini adalah tanggung jawab kita semua.

Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu mendobrak tabu yang ada di sekitar masalah kekerasan di sekolah. Ini bukan hanya tentang "membiarkan guru melakukan pekerjaan mereka," tetapi tentang memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan aman. Kita harus terus mengawasi, terus bertanya, dan terus menuntut reformasi di dalam sistem pendidikan kita.

Pada akhirnya, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar tidak hanya tentang matematika dan sains, tetapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang baik. Ini adalah tempat di mana mereka seharusnya merasakan keamanan, bukan ketakutan. Jika kita ingin menciptakan generasi yang lebih baik, kita harus memulai dari sini: menghentikan kekerasan di sekolah dan menciptakan lingkungan di mana setiap anak bisa belajar, berkembang, dan merasa aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun