Di balik pintu kelas yang tertutup, di ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya pengetahuan dan karakter, banyak siswa hidup dalam ketakutan.
Sekolah, yang dalam imajinasi ideal kita adalah tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang, justru sering kali menjadi arena kekerasan yang tersembunyi di balik formalitas seragam dan disiplin. Bukan hanya karena aturan yang ketat atau metode pengajaran yang kaku, tetapi karena sistem pendidikan kita telah menginternalisasi cara berpikir bahwa hukuman fisik dan kekerasan emosional adalah alat sah untuk mendisiplinkan siswa.
Kita sering mendengar, "Anak-anak harus didisiplinkan." Namun, ketika "disiplin" berarti hukuman fisik atau pelecehan emosional, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar mendidik atau sekadar melanggengkan pola kekuasaan yang salah? Kasus-kasus kekerasan di sekolah terus bermunculan di media, dari hukuman squat jump yang menyebabkan kematian seorang siswa di Sumatera Utara, hingga pelecehan seksual oleh guru di Gorontalo yang merusak masa depan seorang anak. Meskipun kisah-kisah tragis ini telah mengejutkan publik, tampaknya ada perasaan apatis yang mengendap di masyarakat kita, seakan-akan kekerasan di sekolah adalah harga yang harus dibayar untuk mendisiplinkan generasi muda.
Pertanyaan besar yang harus kita tanyakan sekarang adalah: mengapa kekerasan di sekolah masih dianggap normal?
Kekerasan di Sekolah: Sebuah Warisan Budaya Kekuasaan
Kekerasan dalam sistem pendidikan kita tidak muncul dari ruang hampa. Ini adalah warisan dari cara kita memandang kekuasaan dan otoritas. Guru di Indonesia sering kali dianggap sebagai figur yang tidak bisa digugat.
Mereka tidak hanya bertugas mengajar materi akademis, tetapi juga bertindak sebagai "penegak disiplin" yang kadang-kadang diizinkan untuk menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk pengajaran. Dalam konteks budaya ini, ada kepercayaan yang mengakar bahwa hukuman keras diperlukan untuk "mengajari anak-anak agar patuh."
Namun, pendekatan ini mengabaikan satu fakta penting: kekerasan tidak pernah menjadi alat yang efektif untuk pendidikan. Kekerasan hanya menghasilkan ketakutan, bukan penghormatan. Ia membangun tembok antara siswa dan guru, mengaburkan fungsi sekolah sebagai tempat pembelajaran menjadi tempat hukuman. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak sedang membangun karakter siswa, tetapi menciptakan lingkungan di mana kekuasaan lebih penting daripada kebijaksanaan, dan ketundukan lebih dihargai daripada rasa ingin tahu.
Apakah Kekerasan Adalah Alat untuk Mendidik?
Dalam beberapa kasus yang mencuat, orang tua dan guru masih sering berargumen bahwa hukuman fisik atau verbal adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Bagi banyak orang dewasa, kekerasan ini adalah sesuatu yang mereka alami ketika masih bersekolah, dan mereka percaya bahwa cara ini "berhasil" pada diri mereka. Namun, psikologi modern menunjukkan bahwa metode pendidikan berbasis kekerasan hanya akan menghasilkan individu yang hidup dalam ketakutan atau pemberontakan, tanpa rasa hormat sejati kepada otoritas.
Studi global yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan, baik di rumah maupun di sekolah, cenderung menunjukkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku di kemudian hari. Kekerasan bukan hanya menyebabkan luka fisik; ia juga mencederai jiwa anak-anak yang menjadi korbannya. Di Indonesia, hasil serupa terlihat dalam berbagai survei yang menunjukkan peningkatan stres dan kecemasan di kalangan siswa yang kerap menerima hukuman fisik atau verbal di sekolah.
Ketika kita berbicara tentang mendisiplinkan anak-anak, kita sering lupa bahwa tujuan sebenarnya dari disiplin bukanlah untuk membuat mereka tunduk, tetapi untuk membantu mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Disiplin sejati adalah tentang mendidik, bukan menghukum. Dan untuk itu, kita perlu menemukan pendekatan yang lebih manusiawi dalam membimbing anak-anak kita.