Salah satu aspek yang sering kali terlewat dalam diskusi tentang kekerasan di sekolah adalah konsep relasi kuasa. Anak-anak berada dalam posisi yang lemah di dalam lingkungan sekolah. Mereka bergantung pada guru untuk mendapatkan pengetahuan, nilai, dan pada beberapa kasus, perlindungan. Ketergantungan ini menciptakan ketidakseimbangan kuasa yang sangat besar, dan ketika kekuasaan ini disalahgunakan, hasilnya bisa menghancurkan.
Dalam kasus pelecehan seksual di Gorontalo, misalnya, guru yang memanfaatkan posisi otoritasnya untuk mengeksploitasi seorang siswa bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan kepercayaan dasar yang harus ada dalam hubungan guru-murid. Relasi kuasa yang tidak sehat ini menciptakan ruang bagi manipulasi, di mana anak-anak tidak hanya menjadi korban fisik, tetapi juga korban emosional. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang dieksploitasi, dan bahkan merasa bersalah atas sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan mereka.
Di sini kita perlu bertanya: bagaimana kita bisa membiarkan anak-anak kita, yang seharusnya berada di bawah perlindungan guru, justru menjadi korban dari orang-orang yang diberi mandat untuk melindungi mereka? Mengapa relasi kuasa yang berbahaya ini masih dibiarkan tanpa pengawasan ketat?
Mengubah Paradigma: Menuju Pendidikan Berbasis Kemanusiaan
Meskipun kekerasan di sekolah tampaknya telah menjadi bagian dari sistem yang ada, bukan berarti kita tidak bisa mengubahnya. Kita perlu memulai perubahan dari cara kita mendefinisikan peran guru, siswa, dan sekolah itu sendiri. Pertama-tama, kita harus menolak gagasan bahwa otoritas otomatis berarti kekuasaan untuk mendisiplinkan melalui kekerasan. Otoritas harus dilihat sebagai tanggung jawab untuk membimbing, bukan sebagai lisensi untuk menghukum.
Model pendidikan berbasis empati, seperti yang diterapkan di Finlandia dan beberapa negara Eropa lainnya, menawarkan solusi yang menarik. Di sana, konsep discipline without punishment diterapkan secara efektif, dengan fokus pada dialog, pengertian, dan resolusi konflik yang sehat. Guru tidak lagi dilihat sebagai sosok otoritatif yang menakutkan, tetapi sebagai mentor yang membantu siswa memahami kesalahan mereka dan memperbaikinya. Hasilnya adalah lingkungan belajar yang lebih terbuka, di mana siswa merasa dihargai dan didengar, bukan ditakuti.
Indonesia bisa mengambil inspirasi dari model ini. Salah satu langkah pertama adalah melalui pelatihan intensif bagi guru mengenai manajemen kelas yang tidak berbasis kekerasan. Guru perlu diajarkan bagaimana mendisiplinkan dengan cara-cara yang membangun, bukan merusak. Selain itu, penting juga untuk melibatkan siswa dalam proses pendidikan disiplin ini, sehingga mereka memahami bahwa disiplin bukanlah hukuman, tetapi kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
Mengembalikan Kepercayaan: Peran Orang Tua dan Masyarakat
Orang tua sering kali menjadi saksi pasif terhadap kekerasan di sekolah, baik karena takut berbicara atau karena tidak tahu harus berbuat apa. Namun, sebagai bagian dari masyarakat, orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi dan menuntut perubahan. Pendidikan anak-anak bukan hanya tanggung jawab guru atau sekolah; ini adalah tanggung jawab kita semua.
Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita perlu mendobrak tabu yang ada di sekitar masalah kekerasan di sekolah. Ini bukan hanya tentang "membiarkan guru melakukan pekerjaan mereka," tetapi tentang memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan aman. Kita harus terus mengawasi, terus bertanya, dan terus menuntut reformasi di dalam sistem pendidikan kita.
Pada akhirnya, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar tidak hanya tentang matematika dan sains, tetapi juga tentang bagaimana menjadi manusia yang baik. Ini adalah tempat di mana mereka seharusnya merasakan keamanan, bukan ketakutan. Jika kita ingin menciptakan generasi yang lebih baik, kita harus memulai dari sini: menghentikan kekerasan di sekolah dan menciptakan lingkungan di mana setiap anak bisa belajar, berkembang, dan merasa aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H