Satu dekade terakhir, dunia digital bergerak begitu cepat. Saking cepatnya, orang sering kali merasa tertinggal, terutama mereka yang lahir sebelum teknologi internet mengambil alih hidup kita.
Di tengah derasnya arus informasi, kita menyaksikan generasi Boomer II (1955-1964) dan Gen X (1965-1980) kerap kali mengalami kesulitan dalam memilah mana informasi yang benar dan mana yang menyesatkan. Fakta ini seringkali membuat kita bertanya-tanya: Mengapa orang tua kita, yang dulu begitu bijak, kini mudah percaya dengan hoaks yang berseliweran di media sosial?
Minimnya Literasi Media di Generasi Boomer II dan Gen X
Menurut data dari We Are Social tahun 2023, hampir 65% penduduk Indonesia aktif di media sosial, termasuk kelompok usia yang lebih tua.
Generasi Boomer II dan Gen X yang tumbuh besar di era pra-digital kini harus beradaptasi dengan derasnya informasi dari berbagai platform. Sayangnya, minimnya literasi media di antara kelompok ini menjadi masalah besar. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kominfo menunjukkan bahwa lebih dari 50% masyarakat Indonesia, terutama yang berusia di atas 45 tahun, mengalami kesulitan dalam membedakan informasi yang benar dan palsu di dunia maya.
Fenomena ini bisa dimengerti, mengingat kelompok ini tumbuh besar di era di mana informasi datang dari sumber yang lebih terbatas dan kredibel seperti koran, radio, atau televisi. Mereka tidak terbiasa dengan "banjir informasi" seperti sekarang ini. Akibatnya, saat teknologi digital meledak, mereka tidak memiliki cukup 'alat' untuk menyaring informasi yang membanjir dari berbagai sumber, baik yang valid maupun tidak.
Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Generasi yang Lebih Tua
Orang tua kita mungkin tidak terlalu akrab dengan istilah seperti clickbait atau fake news, namun mereka adalah target yang rentan.
Media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, yang banyak digunakan oleh Boomer II dan Gen X, sering kali menjadi sarang bagi penyebaran hoaks. Sebuah laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di tahun 2022 mencatat bahwa 41% pengguna media sosial dari kalangan usia 55 tahun ke atas sering terpapar informasi palsu, dan banyak dari mereka mempercayainya tanpa memverifikasi kebenaran informasi tersebut.
Mengapa ini terjadi? Salah satu faktornya adalah algoritma media sosial yang menampilkan informasi sesuai dengan kebiasaan pengguna. Semakin banyak orang tua kita berinteraksi dengan konten yang mereka sukai---yang mungkin saja hoaks---maka semakin banyak konten serupa yang ditampilkan di beranda mereka. Ini menciptakan efek "filter bubble", di mana mereka hanya terpapar informasi yang memperkuat kepercayaan awal mereka, dan semakin sulit bagi mereka untuk menerima pandangan yang berbeda.
Literasi Media Adalah Solusi
Di tengah era informasi yang deras, literasi media bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan dasar.
Literasi media mengajarkan kita cara berpikir kritis terhadap informasi yang kita terima, serta bagaimana mengenali berita palsu dan membedakan sumber yang kredibel dari yang tidak. Namun, masalahnya, literasi media belum menjadi bagian penting dari pendidikan di banyak sekolah, apalagi bagi generasi yang sudah di luar sistem pendidikan formal seperti Boomer II dan Gen X.
Kita perlu menyadari bahwa pendidikan literasi media tidak bisa hanya diberikan pada generasi muda saja. Orang tua kita juga membutuhkan pembekalan agar mereka mampu menavigasi dunia informasi yang begitu kompleks. Sebuah survei dari Common Sense Media di tahun 2023 menunjukkan bahwa 70% orang dewasa di atas usia 50 tahun merasa khawatir bahwa mereka tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi informasi, dan 45% di antaranya mengakui bahwa mereka sering kesulitan dalam memahami cara kerja media sosial dan berita daring.
Untuk itu, kampanye literasi media harus diperluas agar mencakup seluruh generasi. Program pelatihan dan edukasi di tingkat komunitas, seperti yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa LSM, bisa menjadi solusi. Pelatihan ini bisa fokus pada cara memverifikasi berita, mengenali hoaks, dan memahami etika jurnalistik. Dalam jangka panjang, ini akan membantu orang tua kita untuk lebih kritis dalam menghadapi informasi yang mereka terima, sekaligus mengurangi penyebaran hoaks di kalangan mereka.
Mengapa Literasi Media Begitu Penting bagi Keluarga Kita?
Literasi media bukan hanya urusan pribadi, tapi juga berdampak pada keluarga.
Bayangkan jika orang tua kita terus menerus percaya pada informasi salah yang mereka dapatkan dari media sosial. Ini bisa berpengaruh pada keputusan-keputusan yang mereka buat, termasuk dalam hal kesehatan, politik, bahkan hubungan sosial di dalam keluarga. Kita mungkin pernah mendengar cerita tentang keluarga yang terpecah karena perbedaan pandangan politik yang dipicu oleh informasi menyesatkan di media sosial.
Saat generasi muda, seperti kita, lebih terdidik dalam hal literasi media, kita memiliki tanggung jawab untuk membantu orang tua kita. Tidak mudah memang, mengingat bahwa mereka mungkin merasa lebih berpengalaman dalam banyak hal dibanding kita. Namun, kita bisa mulai dengan cara yang halus---misalnya, dengan menunjukkan bagaimana cara mengecek fakta dari sumber yang lebih terpercaya, atau mengajak mereka berdiskusi tentang berita yang mereka baca.
Menjembatani Generasi dengan Literasi Media
Hubungan antara orang tua dan anak tidak selalu mulus, apalagi jika menyangkut masalah perbedaan pandangan.
Namun, di era digital ini, literasi media bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kita. Kita bisa duduk bersama orang tua, mendiskusikan berita yang muncul di media sosial mereka, dan mengajak mereka untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Dengan cara ini, tidak hanya orang tua kita yang belajar, tetapi kita juga bisa memperkuat hubungan keluarga dengan komunikasi yang lebih terbuka dan berbasis pengetahuan.
Program literasi media juga bisa dikemas dalam bentuk yang lebih menarik, misalnya melalui acara televisi, podcast, atau video singkat yang menjelaskan konsep-konsep penting dengan cara yang mudah dipahami. Ini bisa menjadi langkah awal yang efektif untuk menjangkau generasi yang lebih tua, yang mungkin merasa kesulitan mengikuti pelatihan berbasis teknologi.
Literasi Media Adalah Investasi Jangka Panjang
Pada ahirnya, literasi media adalah investasi jangka panjang yang harus kita tanamkan dalam setiap generasi, termasuk generasi yang lebih tua.
Mengapa? Karena informasi yang kita konsumsi setiap hari mempengaruhi cara kita berpikir, bertindak, dan memutuskan. Jika orang tua kita terlindungi dari bahaya hoaks dan misinformasi, mereka bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Sebagai anak muda, kita memiliki peran penting dalam memastikan bahwa orang tua kita juga melek media. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, dan tidak ada salahnya bagi kita untuk membantu mereka menavigasi dunia digital yang semakin rumit ini. Dengan begitu, kita bisa mencegah mereka terjebak dalam jerat hoaks, dan memastikan bahwa generasi kita---baik tua maupun muda---tetap kritis dan cerdas dalam menghadapi informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H