Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending: Ancam Masa Depan Anak

2 Oktober 2024   12:25 Diperbarui: 2 Oktober 2024   12:32 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Sumber gambar: allprodad.com

Bagaimana Terjerat Hutang Saat Anak Masih Kecil Bisa Menghantui Masa Depan Mereka

Hidup di era modern dengan segala kemudahan finansial yang ditawarkan bisa menjadi pedang bermata dua. Fenomena seperti doom spending---kecenderungan menghabiskan uang secara impulsif sebagai pelarian dari tekanan hidup---tidak hanya mengancam stabilitas finansial seseorang, tetapi juga masa depan anak-anak mereka.

Generasi milenial dan Gen Z, yang kini mulai berkeluarga, berada di garis depan dalam menghadapi bahaya ini. Lalu, bagaimana jika orang tua, yang mestinya berfokus pada mendidik anak-anak mereka, justru terjebak dalam lingkaran hutang yang tampaknya tiada akhir?

Perilaku Doom Spending: Hadiah untuk Diri Sendiri atau Pelarian?

Sebagian besar dari kita mungkin pernah merasa ingin "menghadiahi" diri sendiri setelah melalui masa-masa sulit.

Bagi banyak orang tua muda, terutama dari kalangan milenial, dorongan untuk melakukan self-reward sering kali muncul sebagai bentuk pelampiasan dari trauma masa kecil atau kekecewaan yang dirasakan di masa lalu. "Saya dulu tidak bisa membeli ini, jadi sekarang saya berhak membelinya," adalah narasi umum yang beredar di kepala kita. Namun, masalahnya terletak pada saat perilaku ini berubah menjadi kebiasaan tidak sehat.

Dalam konteks keluarga muda, di mana kebutuhan anak kecil terus bertambah---mulai dari biaya pendidikan, kebutuhan kesehatan, hingga makanan dan pakaian---pola doom spending ini bisa berakibat fatal. Uang yang seharusnya digunakan untuk keperluan anak malah tersedot untuk membayar tagihan kartu kredit atau hutang konsumtif lainnya. Alih-alih menjadi sumber kebahagiaan jangka pendek, kebiasaan ini justru menyisakan beban finansial berkepanjangan.

Sebuah penelitian dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa generasi milenial di Indonesia lebih rentan terhadap pengeluaran impulsif dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendewakan konsumerisme, di mana kemudahan berbelanja online dan promosi diskon besar-besaran terus menggoda. Hasilnya, banyak dari mereka terjebak dalam siklus gali lubang tutup lubang, hingga akhirnya terperosok dalam hutang yang semakin sulit dilunasi.

Gali Lubang, Tutup Lubang: Siklus yang Menguras Fisik dan Emosional

Ketika hutang mulai menumpuk, banyak orang tua yang merasa terjebak dalam siklus yang sulit dihindari.

Dari bulan ke bulan, mereka terpaksa memutar uang hanya untuk menutup tagihan yang datang tanpa henti. Tekanan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua.

Bagaimana rasanya mendidik anak saat terlilit hutang? Banyak yang merasa dada mereka sesak, tidak hanya karena kecemasan finansial, tetapi juga karena rasa bersalah. Di satu sisi, mereka berjuang untuk menjaga agar anak-anak mereka tidak merasakan beban yang sama. Namun di sisi lain, ada perasaan rendah diri yang tak terelakkan karena ketidakmampuan memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

"Ketika anak saya bertanya mengapa kita tidak bisa berlibur seperti teman-temannya, saya merasa seperti gagal sebagai orang tua," ungkap salah satu ibu muda yang terjebak dalam lingkaran hutang akibat doom spending. Pertanyaan sederhana dari sang anak menjadi pengingat betapa rapuhnya kondisi finansial keluarga, meskipun orang tua berusaha keras untuk menutupi kelemahan tersebut.

Uang untuk Anak, Tapi Terpaksa untuk Bayar Hutang

Kebutuhan anak kecil tidak bisa diabaikan.

Mulai dari susu formula, pakaian, mainan edukatif, hingga biaya pendidikan yang semakin mahal. Namun, apa jadinya jika sebagian besar penghasilan bulanan terpaksa dialokasikan untuk melunasi hutang? Kondisi ini menciptakan dilema moral bagi banyak orang tua. Di satu sisi, mereka ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun di sisi lain, hutang yang terus mengejar mereka seakan memaksa mereka untuk memilih antara masa depan anak atau kewajiban membayar hutang.

Banyak pasangan muda yang akhirnya mengorbankan kebutuhan anak demi melunasi hutang. Padahal, masa kecil adalah masa yang krusial dalam perkembangan seseorang. Kurangnya perhatian pada kebutuhan anak bisa berdampak pada tumbuh kembang mereka, baik dari sisi fisik, emosional, maupun intelektual. Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang terlilit hutang cenderung mengalami stres lebih tinggi dan memiliki rasa percaya diri yang lebih rendah.

Mendidik Anak dengan Percaya Diri, Tapi Kita Rendah Diri Karena Hutang

Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua yang terlilit hutang adalah bagaimana mendidik anak agar tetap percaya diri, sementara diri mereka sendiri diliputi perasaan rendah diri.

Hutang sering kali membawa stigma sosial, membuat orang tua merasa gagal dalam menjalankan peran mereka sebagai penyokong keluarga. Namun, penting untuk diingat bahwa nilai diri seseorang tidak hanya diukur dari kondisi finansialnya.

Meskipun orang tua merasa rendah diri karena hutang, mereka tetap bisa membesarkan anak-anak yang percaya diri dan optimis. Menurut psikolog keluarga, kuncinya adalah transparansi yang sehat. Anak-anak tidak perlu tahu setiap detail finansial keluarga, tetapi mereka bisa diajarkan pentingnya hidup hemat, memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, serta menghargai setiap usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi masalah keuangan.

Hutang Harus Dibayar, Anak Harus Dididik

Bagi banyak keluarga yang terlilit hutang, ada perasaan bahwa pintu rezeki seakan terkunci.

Segala usaha yang dilakukan terasa sia-sia, karena setiap kali ada tambahan penghasilan, uang tersebut langsung habis untuk membayar hutang. Dalam situasi ini, penting bagi orang tua untuk tetap berpegang pada prinsip bahwa hutang harus dibayar, tetapi anak-anak juga tetap harus mendapatkan perhatian dan pendidikan yang layak.

Solusi dari masalah ini tidaklah mudah. Banyak orang tua yang akhirnya mencari cara untuk menambah penghasilan, baik dengan mengambil pekerjaan sampingan, memulai bisnis kecil-kecilan, atau berinvestasi dalam pendidikan diri agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sementara itu, mengatur keuangan keluarga dengan lebih ketat juga menjadi langkah penting untuk memastikan kebutuhan anak tetap terpenuhi tanpa menambah beban hutang.

Refleksi: Jalan Keluar dari Lingkaran Hutang

Terjerat hutang ketika anak masih kecil adalah realitas pahit yang dihadapi banyak keluarga muda saat ini.

Namun, penting untuk diingat bahwa selalu ada jalan keluar dari setiap masalah, termasuk masalah finansial. Memutus siklus doom spending, mengatur anggaran dengan lebih bijak, dan mencari dukungan profesional, seperti konsultan keuangan, adalah langkah awal yang bisa diambil.

Lebih dari itu, orang tua harus menyadari bahwa beban finansial yang mereka hadapi bukanlah ukuran dari kemampuan mereka dalam mendidik anak. Anak-anak membutuhkan cinta, perhatian, dan dukungan emosional yang jauh lebih berharga daripada benda-benda materi. Pada akhirnya, mendidik anak dalam lingkungan yang penuh kasih dan pengertian akan memberikan mereka pondasi yang kuat untuk menghadapi dunia, terlepas dari tantangan finansial yang dihadapi keluarga.

Kesimpulan:

Terjebak hutang saat anak masih kecil merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi banyak keluarga muda saat ini.

Dengan mengenali pola doom spending dan dampaknya yang berkepanjangan, orang tua bisa mulai memperbaiki kondisi finansial mereka sambil tetap menjaga kebutuhan dan hak-hak anak tetap terpenuhi. Membuat rencana keuangan yang matang dan mengajarkan anak tentang hidup hemat bisa menjadi langkah untuk keluar dari krisis, sekaligus memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun