Ada banyak momen dalam hidup orang tua ketika kita bertanya-tanya, "Apakah aku sudah melakukan yang terbaik untuk anakku?"
Entah itu saat melihat hasil rapor, mendengar ucapan orang tua lain di taman bermain, atau setelah membaca komentar di media sosial tentang pola asuh "sempurna" yang sepertinya berhasil untuk semua orang---kecuali diri kita sendiri. Di dunia di mana pameran keberhasilan keluarga lebih sering terjadi di Instagram daripada di ruang tamu, kita, para orang tua, sering kali terjebak dalam dorongan untuk membesarkan anak-anak yang bisa membuat orang lain terkesan. Tapi apakah itu benar-benar tujuan kita?
Jika kita menilik kembali, dari generasi ke generasi, gaya pengasuhan selalu berubah sesuai dengan norma sosial dan budaya yang berlaku. Namun, tren parenting saat ini, terutama yang dipengaruhi oleh media sosial, membawa kita ke dalam siklus yang hampir obsesif---obsesi untuk menampilkan bahwa kita adalah orang tua yang "ideal." Dari mulai pemilihan sekolah terbaik, ekstrakurikuler yang tepat, hingga pakaian yang dikenakan anak, semuanya seakan harus dipamerkan dengan bangga ke publik.
Tapi mari berhenti sejenak dan bertanya, "Apa yang sebenarnya kita kejar?"
Kebutuhan Validasi dalam Pengasuhan
Sebuah penelitian dari University of Michigan yang diterbitkan dalam Journal of Family Psychology tahun 2022 menunjukkan bahwa kebutuhan akan validasi sosial memengaruhi cara orang tua mendidik anak mereka. Menurut penelitian ini, banyak orang tua cenderung lebih fokus pada pandangan orang lain daripada pada kebutuhan sebenarnya dari anak mereka. Ini mungkin terlihat sepele---seperti memposting foto anak yang selalu tersenyum atau berprestasi di sekolah---namun jika terus dilakukan, pengaruhnya bisa cukup dalam.
Dr. Emily Smith, seorang psikolog yang memimpin penelitian tersebut, mengatakan bahwa ketika orang tua lebih terfokus pada bagaimana mereka ingin dilihat oleh orang lain, mereka cenderung tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak. "Orang tua yang mencari validasi sosial lebih rentan mengalami stres karena mereka merasa harus terus-menerus memenuhi standar yang tidak realistis," kata Smith. "Hal ini juga dapat menyebabkan ketidakpedulian terhadap perasaan dan perkembangan emosional anak yang sebenarnya."
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini sering kita lihat di berbagai lingkup sosial---baik di sekolah, acara keluarga, maupun komunitas. Banyak orang tua yang begitu terobsesi dengan prestasi akademis atau penampilan anak mereka, sampai-sampai kebutuhan emosional dan kesejahteraan mental anak diabaikan. Padahal, riset terbaru dari Harvard University tahun 2023 menunjukkan bahwa kesehatan mental anak yang baik jauh lebih penting dalam jangka panjang daripada nilai rapor yang sempurna.
Anak Bukan Trofi
Saat kita memutuskan untuk menjadi orang tua, tidak ada buku panduan yang benar-benar sempurna. Tapi, satu hal yang seharusnya kita sepakati bersama adalah bahwa anak bukanlah trofi yang harus kita pamerkan. Anak bukanlah perpanjangan dari ego kita, dan mereka bukanlah objek yang kita gunakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain.
Banyak orang tua yang merasa cemas jika anak-anak mereka tidak mencapai standar tertentu. Namun, apa yang kita kejar? Pujian dari tetangga? "Wow, anakmu masuk kelas akselerasi, hebat!" Atau validasi dari media sosial? Semua ini mungkin memuaskan ego kita untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya, apa dampaknya pada anak-anak kita?
Sebagai orang tua, kita sering kali lupa bahwa setiap anak adalah individu unik dengan kebutuhan, kemampuan, dan impian mereka sendiri. Penelitian dari Yale Child Study Center menunjukkan bahwa anak-anak yang merasa dicintai dan didukung tanpa syarat oleh orang tua cenderung lebih percaya diri dan lebih mampu menghadapi tekanan sosial dan emosional di kemudian hari. Sementara anak-anak yang selalu merasa harus mencapai sesuatu untuk mendapatkan pengakuan dari orang tua, lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi.
Media Sosial dan Tekanan Menjadi Orang Tua yang Sempurna
Jika kita perhatikan, media sosial memainkan peran besar dalam menciptakan tekanan yang tidak perlu ini. Di Instagram, TikTok, atau Facebook, kita melihat potret keluarga bahagia yang tampak sempurna. Kita melihat anak-anak yang selalu berprestasi, tersenyum, dan tampil rapi. Namun, apa yang sering tidak kita lihat adalah perjuangan sehari-hari yang ada di balik layar. Kita tidak melihat anak-anak yang tantrum, orang tua yang lelah, atau momen ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana.
Sebuah studi dari Pew Research Center tahun 2023 menemukan bahwa lebih dari 60% orang tua merasa tekanan yang berlebihan untuk menampilkan kehidupan keluarga yang sempurna di media sosial. Dampaknya, mereka merasa harus "berkompetisi" dengan orang tua lain dalam hal bagaimana anak-anak mereka dipersepsikan oleh publik. Hal ini tidak hanya meningkatkan stres pada orang tua, tetapi juga menimbulkan ekspektasi yang tidak realistis tentang apa itu menjadi orang tua yang "baik."
Faktanya, tidak ada satu pun standar baku yang bisa mengukur seberapa baik kita sebagai orang tua. Yang ada hanyalah upaya kita untuk memahami kebutuhan anak, memberikan cinta tanpa syarat, dan mendidik mereka menjadi individu yang mandiri dan bahagia.
Menemukan Keseimbangan
Tentu, tidak ada yang salah dengan ingin anak kita berprestasi atau terlihat baik. Namun, jika itu menjadi tujuan utama dalam pengasuhan, maka kita sedang melangkah ke jalur yang salah. Mengasuh anak seharusnya tentang membantu mereka menemukan jati diri, bukan membentuk mereka sesuai dengan ekspektasi kita atau orang lain.
Psikolog klinis, Dr. Laura Markham, dalam bukunya Peaceful Parent, Happy Kids, menekankan pentingnya mendengarkan anak dan membiarkan mereka berkembang sesuai dengan kecepatan dan minat mereka sendiri. "Jika kita terlalu sibuk mengatur hidup anak-anak kita, kita mungkin mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya paling penting---perasaan mereka, mimpi mereka, dan kebahagiaan mereka."
Dr. Markham juga mengingatkan kita bahwa apa yang terlihat sebagai kesuksesan di mata orang dewasa tidak selalu sama dengan apa yang dianggap anak-anak sebagai kebahagiaan. "Seorang anak yang merasa didengar, diterima, dan dicintai, bahkan ketika mereka tidak memenuhi ekspektasi akademis atau sosial tertentu, akan tumbuh dengan rasa percaya diri dan kesehatan mental yang jauh lebih baik," tambahnya.
Refleksi untuk Orang Tua
Jika ada satu hal yang perlu kita refleksikan sebagai orang tua, itu adalah apakah kita mengasuh anak kita untuk kebahagiaan mereka, atau untuk memuaskan ego kita sendiri. Apakah kita mendidik mereka untuk membuat dunia kagum, atau untuk menjadi individu yang bahagia dan mandiri?
Mendidik anak bukanlah tentang membuat orang lain terkesan, melainkan tentang memberi mereka bekal terbaik untuk menghadapi dunia yang penuh tantangan. Dan bekal terbaik itu bukanlah pujian dari orang lain, melainkan cinta, dukungan, dan kesempatan untuk menjadi diri mereka sendiri.
Jadi, sebelum kita tergoda untuk memposting foto prestasi terbaru anak kita atau mengikuti tren parenting yang viral, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita melakukannya untuk mereka, atau untuk kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H