Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Galau Dikit, Checkout Lagi: Bagaimana Generasi Z Berhadapan dengan Doom Spending?

1 Oktober 2024   18:54 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:57 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Galau dikit, GoFood. Mau kondangan, CO dulu. Habis gajian, holiday."

Siapa yang nggak relate dengan pola konsumtif seperti ini? Generasi Z dan milenial tampaknya sedang terjebak dalam pusaran gaya hidup yang berorientasi pada belanja demi meredakan kecemasan atau stres harian.

Sebenarnya, perilaku konsumtif ini, dalam porsi yang tepat, memang bisa mendorong roda ekonomi, khususnya UMKM. Namun, apa yang terjadi ketika kebiasaan belanja tersebut berubah menjadi doom spending---fenomena di mana kita membelanjakan uang yang tidak kita miliki untuk hal-hal yang tidak kita butuhkan?

Sebagai generasi yang tumbuh dengan akses keuangan digital dan media sosial yang kerap menampilkan glamornya kehidupan orang lain, kita kerap dihadapkan pada godaan untuk mengikuti tren, atau setidaknya memuaskan hasrat untuk 'healing' dan 'self-reward'. Ironisnya, kita sering lupa bahwa kebanyakan dari kita belum mencapai kestabilan finansial, dan malah boros dengan dalih "self-reward." Menyedihkan, tapi ini realitas yang banyak dialami anak muda hari ini.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2023, 74% dari generasi milenial dan Gen Z lebih sering menggunakan layanan paylater untuk berbelanja online dibandingkan generasi sebelumnya. Bukan hanya itu, laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah pinjaman paylater meningkat drastis selama dua tahun terakhir. Kemudahan akses ini mengaburkan batas antara kebutuhan dan keinginan, mendorong kita untuk menghabiskan lebih dari yang seharusnya.

Self-Reward atau Perangkap Konsumsi?

Pernah nggak sih, kamu merasa harus membeli sesuatu hanya karena kamu lagi nggak mood?

 "Mood nggak bener dikit, langsung mikir harus beli sesuatu buat ngilangin badmood," begitu salah satu teman curhat di grup WhatsApp. Dan ketika paket sampai, ada rasa senang yang muncul sesaat, membuat kita lupa bahwa kita sebenarnya sedang menghabiskan uang untuk sesuatu yang nggak benar-benar penting.

Tapi di balik kebahagiaan sesaat itu, ada juga rasa bersalah. "Aku udah belanja 10 kali bulan ini, kayaknya gaji bulan ini udah habis buat hal-hal yang nggak penting," keluh seorang teman di Instagram. Padahal, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih irit tahun ini. Dan cerita seperti ini bukan sekadar anekdot---ini adalah kenyataan yang sering dialami oleh anak muda kita.

Menurut psikolog konsumerisme, Dr. Kit Yarrow, perilaku doom spending sering kali muncul sebagai respon atas kecemasan atau stres. "Membelanjakan uang untuk barang-barang yang kita inginkan, meskipun tidak kita butuhkan, bisa memberikan rasa kendali di tengah ketidakpastian hidup," jelas Yarrow dalam bukunya Decoding the New Consumer Mind. Tapi masalahnya, kenikmatan ini hanya sementara. Setelah euforia belanja hilang, kita sering kali merasa lebih buruk dari sebelumnya, baik secara emosional maupun finansial.

FOMO dan Pengaruh Media Sosial

Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk perilaku konsumtif kita. Saat scroll Instagram, kita melihat teman-teman kita yang pamer belanjaan terbaru, pakaian branded, hingga staycation di hotel-hotel mewah. "Udah tau mahal, tapi gimana ya, udah terlanjur FOMO," kata seorang teman. Fear of Missing Out (FOMO) bukan hanya bikin kita merasa tertinggal, tapi juga mendorong kita untuk mengambil keputusan finansial yang tidak rasional, hanya demi terlihat 'up to date' seperti orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun