Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beli Gelar: Tren Kosmetik Baru di Kalangan Politisi dan Selebriti?

1 Oktober 2024   12:28 Diperbarui: 1 Oktober 2024   12:40 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dianegottsman.com

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihebohkan oleh fenomena baru yang melibatkan politisi, pejabat, dan selebriti---seakan-akan gelar akademik tak lebih dari status simbolis yang mudah dibeli.

Tak hanya di level lokal, bahkan para pejabat daerah dan selebritis papan atas terlibat dalam fenomena ini. Dengan segala keterbatasan akademik yang mereka miliki, banyak dari mereka yang "tiba-tiba" mengklaim gelar master atau doktor, meski tanpa kapabilitas atau keahlian yang mendukung.

Jika dulu gelar akademik adalah bukti dari proses pembelajaran yang panjang dan serius, kini ia kerap diperdagangkan seperti komoditas mewah, mengaburkan makna pendidikan itu sendiri. Fenomena ini membuka banyak pertanyaan: Kenapa kampus-kampus mau menerima mereka? Kenapa program studi lanjutan begitu mudah diakses oleh orang-orang yang jelas tidak layak? Dan lebih penting lagi, apa sebenarnya yang mereka kejar dengan membeli gelar ini?

Politik dan Pendidikan: Kolaborasi yang Mengerikan

Tak dapat dipungkiri, Indonesia memiliki sejarah panjang yang membenturkan politik dan pendidikan. 

Di masa lalu, gelar akademik sering digunakan untuk menambah legitimasi seseorang dalam dunia pemerintahan. Pada era Orde Baru, misalnya, banyak pejabat yang memanfaatkan gelar akademik sebagai alat administratif untuk mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan yang lebih tinggi. Meski begitu, motif-motif ini setidaknya masih terkait dengan tujuan karier dan peningkatan status profesional.

Namun, di era modern ini, fenomena membeli gelar bukan hanya soal memenuhi syarat administratif. Sebagian besar dari mereka yang terlibat dalam praktik ini sudah berada di puncak karier mereka---baik sebagai politisi, selebritis, maupun pengusaha sukses. Artinya, mereka tidak benar-benar membutuhkan gelar untuk mencapai status yang lebih tinggi. Ini menimbulkan pertanyaan: jika bukan untuk karier atau kenaikan jabatan, apa yang sebenarnya mereka cari?

Kampus: Pengemis atau Pedagang?

Tak bisa diabaikan, bahwa kampus-kampus yang seharusnya menjadi benteng pendidikan dan riset berkualitas justru terjebak dalam lingkaran komersialisasi gelar. 

Program studi pascasarjana, terutama yang menawarkan gelar master dan doktor, kini lebih terlihat seperti produk yang ditawarkan dengan harga tertentu. Kampus, yang seharusnya mengedepankan integritas akademik, tampaknya kini sibuk mencari mahasiswa demi mendapatkan aliran dana tambahan.

Pada dasarnya, universitas memang membutuhkan pemasukan untuk operasional dan riset. Namun, menjual gelar akademik kepada mereka yang tidak memiliki kapabilitas jelas merupakan pengkhianatan terhadap nilai pendidikan itu sendiri. Menurut data dari survei yang dilakukan oleh Indonesian Education Monitor pada tahun 2022, sekitar 25% dari lulusan program pascasarjana di beberapa universitas swasta di Indonesia mengakui bahwa mereka tidak pernah menyelesaikan tesis mereka sendiri. Banyak di antara mereka hanya "membeli" tesis dari pihak ketiga.

Bahkan lebih parah lagi, tidak hanya kampus swasta yang terlibat dalam fenomena ini. Universitas negeri terkemuka, yang seharusnya menjadi role model dalam pendidikan tinggi, juga dikabarkan ikut mengobral gelar kepada mereka yang memiliki uang lebih. Misalnya, sebuah investigasi yang dilakukan oleh Tempo pada tahun 2021 mengungkap bahwa beberapa pejabat daerah menerima gelar doktor dari universitas negeri tanpa benar-benar mengikuti program studi yang lengkap. Skandal ini tentu mencoreng kredibilitas dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Cosplay Akademik: Kesenangan Absurd di Tengah Kehampaan

Mari kita jujur. Orang-orang ini---para pejabat dan selebritis yang membeli gelar---tidak benar-benar peduli pada pendidikan. 

Mereka hanya ingin mengenakan toga, berdiri di depan kamera, dan mengabadikan momen itu untuk dibagikan di media sosial. Bagi mereka, gelar tidak lebih dari kostum dalam sebuah permainan peran, sebuah "cosplay akademik" yang mereka jalani demi kepuasan ego semata.

Profesor Eka Susanti, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, menilai fenomena ini sebagai bentuk "pencarian validasi diri yang salah arah." Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, dia menyatakan bahwa banyak pejabat dan orang kaya merasa perlu untuk terus memvalidasi status mereka, bukan melalui pencapaian nyata, melainkan melalui simbol-simbol prestise seperti gelar akademik. "Mereka mencari pengakuan, bukan pendidikan. Ini adalah tentang bagaimana mereka ingin dilihat, bukan tentang siapa mereka sebenarnya," jelas Eka.

Fenomena ini menciptakan realitas absurd di mana seseorang yang mungkin bahkan tidak bisa menyelesaikan pendidikan sarjana bisa dengan mudah mendapatkan gelar doktor, asalkan mereka memiliki uang yang cukup. Sementara itu, mereka yang benar-benar berjuang untuk mendapatkan pendidikan dan gelar akademik menghadapi tekanan dan kesulitan yang jauh lebih besar.

Efek Domino: Merusak Reputasi dan Menciptakan Ketimpangan

Fenomena jual beli gelar ini juga berdampak serius pada sistem pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. 

Di satu sisi, universitas menjadi lebih termotivasi oleh keuntungan finansial ketimbang kualitas pendidikan. Di sisi lain, gelar akademik kehilangan nilainya. Seorang mahasiswa yang benar-benar bekerja keras untuk menyelesaikan tesis dan mempertahankan disertasinya akan merasa dikhianati oleh sistem yang mengizinkan orang lain untuk mendapatkan gelar yang sama hanya dengan uang.

Menurut sebuah penelitian oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), fenomena ini memperparah ketimpangan dalam sistem pendidikan. Orang-orang yang kaya bisa mendapatkan gelar dengan mudah, sementara mereka yang tidak memiliki uang harus berjuang mati-matian untuk meraih pendidikan berkualitas. "Gelar akademik telah menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki privilege finansial," tulis laporan LIPI tersebut.

Akankah Tren Ini Berakhir?

Sulit untuk mengatakan apakah tren ini akan segera berakhir, mengingat betapa dalamnya akar masalah ini dalam sistem pendidikan dan budaya prestise di Indonesia. 

Namun, beberapa kampus mulai menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Beberapa universitas, baik negeri maupun swasta, mulai memperketat proses seleksi untuk program studi pascasarjana mereka. Selain itu, kampanye anti-plagiarisme dan pengawasan yang lebih ketat terhadap tesis dan disertasi mulai digalakkan di beberapa kampus.

Namun, seperti yang diungkapkan oleh pakar pendidikan Profesor Agus Setiawan dalam sebuah seminar di Jakarta, perubahan sejati hanya bisa terjadi jika masyarakat mulai menilai ulang arti penting gelar akademik. "Selama gelar dianggap sebagai simbol status daripada bukti kompetensi, tren ini akan terus berlanjut," kata Agus. Masyarakat harus memahami bahwa pendidikan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, melainkan sebuah proses panjang yang membutuhkan komitmen, usaha, dan integritas.

Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Gelar

Di tengah segala absurditas ini, satu hal yang harus diingat: pendidikan adalah proses, bukan produk. 

Gelar akademik seharusnya menjadi bukti dari upaya keras dan komitmen intelektual, bukan sekadar trofi yang bisa dibeli. Fenomena jual beli gelar di kalangan pejabat dan selebritis menunjukkan betapa rusaknya sistem ini, dan betapa jauh kita telah menyimpang dari makna sejati pendidikan.

Pada akhirnya, apa yang mereka cari dengan membeli gelar ini? Mungkin hanya kepuasan sesaat, perasaan "berharga" di mata orang lain. Namun, kita semua tahu bahwa hal-hal yang benar-benar berharga dalam hidup tidak bisa dibeli. Dan dalam pendidikan, nilai sebenarnya hanya bisa didapatkan melalui kerja keras dan dedikasi, bukan uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun