Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanam Apa yang Dimakan, Memakan Apa yang Ditanam: Apakah Ini Jawaban untuk Kegelisahan Anak Muda Hari Ini?

1 Oktober 2024   10:16 Diperbarui: 1 Oktober 2024   11:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: freepik.com

Tanya siapa saja di tongkrongan tentang hidup hari ini, dan mungkin jawaban mereka nggak jauh dari "pusing." Bukan cuma soal cinta atau skripsi yang belum kelar, tapi hal yang jauh lebih kompleks: duit.

Milenial, Gen Z, sampai Gen Alfa semua menghadapi masalah yang sama---cari kerja makin susah, harga kebutuhan makin nggak masuk akal, dan ekonomi yang seolah cuma memihak mereka yang sudah di atas. Buat lulusan baru yang CV-nya sudah numpuk di ratusan aplikasi kerja, hidup sekarang seperti labirin tanpa jalan keluar.

Tapi bukan cuma mereka yang baru lulus. Pekerja yang baru di-PHK karena pandemi atau yang usahanya bangkrut gara-gara tren bisnis yang nggak tahan lama juga nggak kalah pusing. Mau mulai usaha sendiri? 

Modal mepet, regulasi ribet, dan ketakutan bangkrut jadi bayangan yang selalu menghantui. Kalau mau ikut tren di media sosial, tiba-tiba bisnis jadi lebih mirip permainan---bagi yang beruntung, Instagram dan TikTok bisa jadi tambang emas, tapi bagi yang apes, media sosial hanya jadi etalase kesuksesan palsu yang bikin mental makin terpuruk.

Ekonomi yang Nggak Berpihak pada Anak Muda

Fakta bahwa pengangguran di Indonesia makin naik bukan isapan jempol. Data BPS tahun 2023 mencatat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,5%, dan ini belum menghitung ribuan anak muda yang bekerja di sektor informal, jadi barista atau ojek online, tanpa jaminan masa depan.

Bahkan mereka yang punya pekerjaan tetap pun merasa pendapatan mereka nggak sebanding sama kebutuhan yang makin menekan. Harga sewa apartemen melangit, biaya pendidikan anak terus meroket, dan biaya hidup sehari-hari semakin nggak masuk akal. Di tengah semua ini, kita terus dihadapkan dengan pertanyaan yang sama: bagaimana bertahan hidup?

Solusi dari pemerintah seringkali terdengar seperti slogan kosong. Berbagai program pelatihan kerja, bantuan UMKM, dan insentif pajak mungkin membantu sebagian kecil orang, tapi bagi banyak lainnya, itu hanyalah janji yang nggak pernah terasa nyata. Apalagi bagi mereka yang nggak punya koneksi. Seberapa bagus CV kamu, kalau nggak ada "orang dalam," jangan harap lamaran kerja akan dilirik.

Menanam Apa yang Dimakan, Memakan Apa yang Ditanam: Sebuah Harapan di Tengah Kekacauan?

Nah, di tengah semua kebisingan ini, ada satu konsep yang mulai menggema: "menanam apa yang dimakan, memakan apa yang ditanam." Bukan ide baru, memang. Kakek nenek kita sudah melakukannya sejak dulu, dan kalau kita ingat pelajaran IPA SD, kita pasti tahu kalau bercocok tanam adalah salah satu cara paling dasar untuk bertahan hidup. Tapi di zaman modern ini, menanam apa yang kita makan bisa lebih dari sekadar bertahan hidup---ini bisa jadi solusi untuk krisis ekonomi yang sedang melanda.

Di banyak negara, tren urban farming sudah mulai jadi pilihan gaya hidup alternatif. Di Jepang, "pasar tanaman rumah" berkembang pesat di kalangan kaum muda yang ingin punya kontrol lebih atas makanan mereka, sekaligus mengurangi ketergantungan pada supermarket yang harganya makin nggak terjangkau. Di Indonesia sendiri, konsep ini mulai ramai diperbincangkan di komunitas-komunitas perkotaan yang semakin sadar akan pentingnya ketahanan pangan.

Menurut survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset independen di Jakarta pada tahun 2022, sebanyak 64% anak muda yang tinggal di perkotaan mulai tertarik untuk mencoba berkebun di rumah sebagai cara mengurangi biaya hidup. Walaupun angkanya terlihat kecil, tren ini terus meningkat, apalagi dengan semakin banyaknya konten YouTube dan TikTok yang membahas tips menanam sayuran di rumah.

Bukan Sekadar Tanam-tanam Biasa

Lalu, kenapa konsep "menanam apa yang dimakan" ini jadi relevan sekarang? 

Pertama-tama, ini bukan cuma soal menghemat uang. Dalam sebuah wawancara dengan pakar ekonomi pertanian, Dr. Ali Fauzi, ia menyebut bahwa dengan menanam kebutuhan pokok seperti sayuran, masyarakat tidak hanya mengurangi pengeluaran sehari-hari, tetapi juga secara tidak langsung memutus ketergantungan pada fluktuasi harga pasar. "Dengan urban farming, masyarakat perkotaan bisa sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ketergantungan pada uang dan pasar," kata Fauzi.

Kedua, aktivitas menanam bisa membantu mengurangi stres yang semakin dirasakan anak muda hari ini. Menurut penelitian dari University of Oxford, berkebun, meskipun dalam skala kecil, terbukti bisa mengurangi tingkat kecemasan dan depresi. Ini semacam terapi yang gratis dan bisa dilakukan siapa saja, kapan saja.

Ketergantungan pada Uang dan Status Sosial: Tantangan Anak Muda Zaman Sekarang

Tapi, di luar manfaat yang jelas, apakah benar menanam sayuran sendiri bisa jadi solusi untuk semua masalah anak muda? 

Di sini kita perlu realistis. Generasi kita tumbuh dalam era di mana status sosial diukur dari apa yang kita pakai, di mana kita tinggal, dan seberapa sukses kita di media sosial. Uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga simbol status. Lalu, bagaimana mungkin sebuah tren berkebun bisa mengubah mindset yang sudah terpatri begitu kuat?

Di sinilah letak tantangan sebenarnya. Bagi sebagian besar anak muda, hidup sederhana dengan "memakan apa yang ditanam" mungkin dianggap sebagai penurunan standar hidup. Media sosial mengajarkan kita untuk terus mengejar gaya hidup mewah, meskipun di balik layar kita tahu banyak dari kesuksesan itu hanya pencitraan semata. Manipulasi visual tentang kecantikan, kekayaan, dan kesuksesan sudah menjadi santapan sehari-hari di Instagram dan TikTok. Jadi, bagaimana kita bisa beralih ke konsep hidup yang lebih sederhana, ketika semua di sekitar kita terus-menerus mempromosikan kebalikannya?

Sebuah Refleksi: Apa yang Sebenarnya Kita Kejar?

Menanam sayuran di halaman belakang atau di balkon mungkin nggak langsung menyelesaikan semua masalah hidup kita. Tapi mungkin ini bisa jadi awal untuk merenung---apa yang sebenarnya kita kejar? Di tengah segala tuntutan hidup modern, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan melihat kembali apa yang benar-benar penting. Apakah status sosial dan uang benar-benar menentukan kebahagiaan kita, atau ada hal lain yang bisa memberi kita rasa puas yang lebih mendalam?

Bagi sebagian orang, solusi ini mungkin terkesan sederhana atau bahkan terlalu idealis. Tapi dalam kondisi krisis seperti sekarang, mungkin kita perlu kembali ke dasar. Seperti kata pepatah lama: "less is more." Dan mungkin, dalam kehidupan yang serba cepat ini, ada kebahagiaan yang kita lewatkan dalam hal-hal kecil yang kita tanam dan kita rawat sendiri.

Jadi, setuju nggak setuju, mungkin inilah saatnya kita mulai memikirkan masa depan yang lebih hijau---bukan hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk kesehatan mental dan finansial kita. Tanam apa yang kita makan, dan makan apa yang kita tanam, siapa tahu ini bisa jadi jawaban sederhana di tengah semua keruwetan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun