Tanya siapa saja di tongkrongan tentang hidup hari ini, dan mungkin jawaban mereka nggak jauh dari "pusing." Bukan cuma soal cinta atau skripsi yang belum kelar, tapi hal yang jauh lebih kompleks: duit.
Milenial, Gen Z, sampai Gen Alfa semua menghadapi masalah yang sama---cari kerja makin susah, harga kebutuhan makin nggak masuk akal, dan ekonomi yang seolah cuma memihak mereka yang sudah di atas. Buat lulusan baru yang CV-nya sudah numpuk di ratusan aplikasi kerja, hidup sekarang seperti labirin tanpa jalan keluar.
Tapi bukan cuma mereka yang baru lulus. Pekerja yang baru di-PHK karena pandemi atau yang usahanya bangkrut gara-gara tren bisnis yang nggak tahan lama juga nggak kalah pusing. Mau mulai usaha sendiri?Â
Modal mepet, regulasi ribet, dan ketakutan bangkrut jadi bayangan yang selalu menghantui. Kalau mau ikut tren di media sosial, tiba-tiba bisnis jadi lebih mirip permainan---bagi yang beruntung, Instagram dan TikTok bisa jadi tambang emas, tapi bagi yang apes, media sosial hanya jadi etalase kesuksesan palsu yang bikin mental makin terpuruk.
Ekonomi yang Nggak Berpihak pada Anak Muda
Fakta bahwa pengangguran di Indonesia makin naik bukan isapan jempol. Data BPS tahun 2023 mencatat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,5%, dan ini belum menghitung ribuan anak muda yang bekerja di sektor informal, jadi barista atau ojek online, tanpa jaminan masa depan.
Bahkan mereka yang punya pekerjaan tetap pun merasa pendapatan mereka nggak sebanding sama kebutuhan yang makin menekan. Harga sewa apartemen melangit, biaya pendidikan anak terus meroket, dan biaya hidup sehari-hari semakin nggak masuk akal. Di tengah semua ini, kita terus dihadapkan dengan pertanyaan yang sama: bagaimana bertahan hidup?
Solusi dari pemerintah seringkali terdengar seperti slogan kosong. Berbagai program pelatihan kerja, bantuan UMKM, dan insentif pajak mungkin membantu sebagian kecil orang, tapi bagi banyak lainnya, itu hanyalah janji yang nggak pernah terasa nyata. Apalagi bagi mereka yang nggak punya koneksi. Seberapa bagus CV kamu, kalau nggak ada "orang dalam," jangan harap lamaran kerja akan dilirik.
Menanam Apa yang Dimakan, Memakan Apa yang Ditanam: Sebuah Harapan di Tengah Kekacauan?
Nah, di tengah semua kebisingan ini, ada satu konsep yang mulai menggema: "menanam apa yang dimakan, memakan apa yang ditanam." Bukan ide baru, memang. Kakek nenek kita sudah melakukannya sejak dulu, dan kalau kita ingat pelajaran IPA SD, kita pasti tahu kalau bercocok tanam adalah salah satu cara paling dasar untuk bertahan hidup. Tapi di zaman modern ini, menanam apa yang kita makan bisa lebih dari sekadar bertahan hidup---ini bisa jadi solusi untuk krisis ekonomi yang sedang melanda.
Di banyak negara, tren urban farming sudah mulai jadi pilihan gaya hidup alternatif. Di Jepang, "pasar tanaman rumah" berkembang pesat di kalangan kaum muda yang ingin punya kontrol lebih atas makanan mereka, sekaligus mengurangi ketergantungan pada supermarket yang harganya makin nggak terjangkau. Di Indonesia sendiri, konsep ini mulai ramai diperbincangkan di komunitas-komunitas perkotaan yang semakin sadar akan pentingnya ketahanan pangan.
Menurut survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset independen di Jakarta pada tahun 2022, sebanyak 64% anak muda yang tinggal di perkotaan mulai tertarik untuk mencoba berkebun di rumah sebagai cara mengurangi biaya hidup. Walaupun angkanya terlihat kecil, tren ini terus meningkat, apalagi dengan semakin banyaknya konten YouTube dan TikTok yang membahas tips menanam sayuran di rumah.