Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengukur Kebahagiaan Indonesia: Apakah Kita Sudah Bahagia?

30 September 2024   13:27 Diperbarui: 30 September 2024   13:54 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: stedlo.com

Sejak kecil kita sering mendengar bahwa kebahagiaan adalah tujuan utama hidup manusia.

Orang tua kita mengajarkan bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sederhana: makan bersama keluarga, berkelakar dengan teman, atau sekadar menikmati sore hari di bawah langit biru. Namun, ketika berbicara soal kebahagiaan dalam lingkup yang lebih besar---misalnya, kebahagiaan sebuah negara---ukurannya menjadi lebih rumit.

Dunia telah mencoba mengukur kebahagiaan. Sebuah laporan tahunan yang dikenal sebagai World Happiness Report mencoba menghitung seberapa bahagia suatu negara dengan menggunakan beberapa komponen dasar. Tiga komponen utamanya adalah: pendapatan per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat. Negara-negara Eropa Utara, seperti Finlandia, Denmark, dan Norwegia, hampir selalu memuncaki klasemen. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita sudah bahagia?

Pendapatan Per Kapita: Lebih dari Sekadar Angka

Pendapatan per kapita, secara sederhana, adalah rata-rata jumlah uang yang diterima oleh setiap orang di suatu negara.

Semakin tinggi angka ini, semakin kaya---setidaknya secara material---negara tersebut. Di Indonesia, angka pendapatan per kapita telah meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka ini telah melampaui 60 juta rupiah per tahun. Pertanyaannya, apakah peningkatan angka tersebut membuat masyarakat lebih bahagia?

Satu hal yang perlu diingat, pendapatan per kapita hanya menggambarkan rata-rata. Jika satu orang memiliki kekayaan yang luar biasa besar, sedangkan sebagian besar lainnya hidup pas-pasan, rata-rata pendapatan tetap terlihat tinggi. Namun, kenyataannya, sebagian besar orang mungkin masih mengalami kesulitan ekonomi. Inilah yang sering terjadi di Indonesia: pertumbuhan ekonomi yang pesat, tetapi distribusi kekayaan yang tidak merata.

Di negara-negara seperti Finlandia dan Norwegia, distribusi kekayaan jauh lebih adil. Pajak progresif diterapkan dengan tegas, di mana orang-orang kaya membayar pajak lebih tinggi untuk membantu meningkatkan kualitas hidup mereka yang kurang mampu. Sementara itu, di Indonesia, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin masih terlihat jelas. Kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, sering kali menjadi simbol pertumbuhan ekonomi yang pesat. Gedung pencakar langit berdiri megah, pusat perbelanjaan mewah tak pernah sepi pengunjung. Namun, di sisi lain, tidak jauh dari kemewahan itu, masih banyak keluarga yang tinggal di rumah-rumah sempit dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa ketimpangan ini menjadi salah satu penghambat kebahagiaan di Indonesia. Ketika sebagian besar orang hidup dalam kecemasan finansial, sulit untuk merasakan kebahagiaan sejati. Di sisi lain, negara-negara seperti Singapura, meskipun memiliki biaya hidup yang tinggi, mampu mengatasi kesenjangan ini dengan kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil.

Namun, bukan berarti Indonesia tak berupaya. Berbagai program sosial, seperti Kartu Prakerja, telah diluncurkan untuk membantu masyarakat miskin. Meski belum sempurna, setidaknya ini langkah menuju distribusi ekonomi yang lebih merata. Sebab, pada akhirnya, uang memang tak bisa membeli kebahagiaan, tetapi bisa menciptakan rasa aman yang menjadi fondasi dari kebahagiaan itu sendiri.

Dukungan Sosial: Ikatan yang Menghangatkan

Jika kita bertanya kepada masyarakat Indonesia tentang apa yang membuat mereka bahagia, jawabannya sering kali berkisar pada hubungan sosial: keluarga, teman, dan komunitas. Tidak bisa disangkal bahwa budaya gotong royong, yang berakar dalam pada kehidupan masyarakat Indonesia, adalah salah satu kekuatan utama bangsa ini.

Di pedesaan, kita masih bisa melihat betapa kuatnya rasa kebersamaan antarwarga. Ketika ada yang sakit atau tertimpa musibah, tetangga dan keluarga besar akan bahu-membahu memberikan bantuan, baik secara finansial maupun emosional. Di kota-kota besar, meski individualisme semakin terasa, kita tetap dapat menemukan dukungan sosial, terutama di kalangan komunitas-komunitas tertentu.

Namun, dalam hal dukungan sosial yang lebih terorganisir, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Eropa Utara. Di Finlandia atau Denmark, misalnya, pemerintah memberikan jaminan sosial yang sangat kuat. Jika seseorang kehilangan pekerjaan, mereka tidak perlu khawatir akan kelaparan atau kehilangan tempat tinggal, karena ada sistem jaminan sosial yang akan membantu mereka sampai menemukan pekerjaan baru.

Di Indonesia, program-program seperti BPJS Kesehatan dan Kartu Indonesia Sehat mulai berjalan, tetapi jaring pengaman sosial ini belum sepenuhnya merata. Banyak warga di daerah terpencil yang masih belum mendapatkan manfaat dari program-program ini. Masyarakat di Papua, Kalimantan, atau Sulawesi masih sering merasa terpinggirkan dalam hal akses terhadap dukungan sosial ini.

Dalam laporan World Happiness Report, dukungan sosial diukur melalui seberapa besar seseorang merasa bisa mengandalkan orang lain di saat-saat sulit. Jika kita jujur, meski budaya gotong royong masih kuat, banyak masyarakat Indonesia yang merasa bahwa mereka harus mengandalkan diri sendiri ketika menghadapi masalah besar, seperti kehilangan pekerjaan atau biaya pengobatan yang tinggi.

Ini menjadi tantangan bagi Indonesia. Membangun sistem dukungan sosial yang lebih terorganisir dan merata adalah salah satu cara untuk meningkatkan kebahagiaan masyarakat. Sebab, manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh orang lain, terutama di saat-saat sulit. Dukungan sosial yang kuat, baik dari keluarga, teman, maupun pemerintah, akan memberikan rasa aman yang esensial bagi kebahagiaan.

Harapan Hidup Sehat: Lebih dari Sekadar Panjang Umur

Harapan hidup sehat bukan sekadar soal berapa lama seseorang hidup, tetapi seberapa lama seseorang bisa hidup dengan kondisi yang sehat dan berkualitas. Di Indonesia, harapan hidup terus meningkat, mencapai 71 tahun pada tahun 2021. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, yang memiliki harapan hidup 84 tahun, Indonesia masih tertinggal.

Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya harapan hidup sehat di Indonesia adalah akses terhadap layanan kesehatan yang belum merata. BPJS Kesehatan memang telah memberikan akses layanan kesehatan bagi jutaan masyarakat, tetapi kualitas layanan di beberapa daerah masih perlu ditingkatkan. Masyarakat di pedalaman sering kali harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar, sementara di kota besar, rumah sakit-rumah sakit swasta menawarkan layanan premium dengan harga yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang.

Selain itu, gaya hidup masyarakat Indonesia juga menjadi faktor penting. Tingginya angka perokok, kurangnya kesadaran akan pentingnya olahraga, serta kebiasaan makan yang tidak sehat, semuanya berkontribusi pada rendahnya kualitas hidup sehat di Indonesia. Polusi udara di kota-kota besar juga memperparah kondisi ini. Banyak orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di bawah paparan polusi udara, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan mereka.

Namun, sekali lagi, ini bukan masalah yang tidak bisa diatasi. Negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, telah membuktikan bahwa dengan kebijakan kesehatan yang lebih baik dan kampanye kesehatan yang efektif, harapan hidup sehat bisa meningkat. Indonesia sudah mulai bergerak ke arah ini, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap warga negara, di mana pun mereka berada, memiliki akses terhadap layanan kesehatan berkualitas.

Apakah Indonesia Sudah Bahagia?

Jika kita melihat dari ketiga komponen tersebut---pendapatan per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat---Indonesia masih berada di tengah perjalanan menuju kebahagiaan. Pendapatan yang meningkat, tetapi belum merata; dukungan sosial yang kuat, tetapi belum terorganisir dengan baik; dan harapan hidup sehat yang semakin panjang, tetapi masih perlu ditingkatkan kualitasnya.

Namun, Indonesia memiliki potensi besar. Dengan budaya sosial yang erat dan pemerintahan yang semakin sadar akan pentingnya kesejahteraan rakyat, negara ini bisa menciptakan kebahagiaan yang lebih merata. Kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan yang terus-menerus diperbaiki. Dan Indonesia, meski belum sampai, sedang bergerak menuju ke sana. 

Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun