Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Slow Reading: Jalan Sunyi di Tengah Deru Zaman yang Terburu-buru

30 September 2024   10:23 Diperbarui: 30 September 2024   10:29 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: panthermedia.net

Di zaman ini, semua berjalan serba cepat.

Dari bangun tidur hingga memejamkan mata kembali di malam hari, hidup manusia modern diselimuti kecepatan. Layar ponsel memuntahkan banjir informasi, dan anak-anak kita, yang dahulu senang bermain di halaman rumah, kini tenggelam dalam dunia digital yang tanpa batas. Mereka melompat dari satu video ke video lain, menyerap segalanya tanpa benar-benar memahami apa yang mereka lihat.

Di tengah gemuruh itu, ada satu hal yang semakin terlupakan: proses. Anak-anak kita---generasi yang tumbuh dalam era digital---semakin kehilangan kemampuan untuk berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan merenungkan. Pendidikan tak lagi berpusat pada pemahaman yang mendalam, melainkan seberapa cepat anak bisa menyerap informasi. Padahal, tanpa tahu tujuan, apa gunanya semua ini?

Ada sebuah metode yang seolah berlawanan dengan semangat zaman---slow reading, atau membaca perlahan. Ini bukan soal lambat untuk sekadar lambat, melainkan sebuah upaya untuk menumbuhkan pemahaman yang mendalam, refleksi yang tenang, dan karakter yang kuat.

Mengenal Kembali Makna Membaca

Di masa kecil, barangkali kita mengenal cerita-cerita klasik seperti Winnie the Pooh atau The Secret Garden. Buku-buku itu bukan sekadar kumpulan kata, melainkan dunia-dunia kecil yang penuh makna. Setiap kalimatnya mengandung nilai, setiap paragraf menyimpan pelajaran kehidupan. Namun, bagaimana mungkin kita bisa menangkap semua itu jika kita membaca dengan tergesa-gesa?

Slow reading mengajak anak-anak untuk melambatkan laju bacaan mereka, bukan hanya demi kecepatan, tetapi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan refleksi. Ketika seorang anak diajari membaca perlahan, mereka belajar lebih dari sekadar memahami cerita. Mereka belajar merenung, berpikir, bahkan menciptakan narasi sendiri. Inilah yang pada akhirnya membentuk karakter. Karena bukankah hidup ini juga adalah proses membaca? Kita harus memahami, merenung, dan bertindak berdasarkan pemahaman kita.

Pramoedya Ananta Toer, dalam banyak karyanya, kerap berbicara tentang kekuatan literasi. Menurutnya, membaca adalah salah satu jalan menuju kebebasan. Bukan kebebasan fisik semata, tetapi kebebasan berpikir, kebebasan memahami dunia secara mendalam. Dan melalui slow reading, kita sedang mengajarkan anak-anak kita untuk tidak hanya bebas, tetapi juga bijak.

Membaca di Era Serba Instan

Dunia modern menuntut segalanya serba cepat. 

Seolah ada perlombaan tak kasat mata: siapa yang paling cepat, dia yang menang. Tak heran, banyak sekolah di Indonesia pun terjebak dalam pola pikir yang sama. Anak-anak didorong untuk membaca cepat, memahami cepat, dan lulus dengan cepat. Namun, apakah semua itu berarti mereka benar-benar mengerti?

Menurut data dari PISA (Programme for International Student Assessment), kemampuan literasi anak-anak Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara lain. Bukan karena mereka tak bisa membaca, tetapi karena mereka tak punya kesempatan untuk benar-benar memahami apa yang mereka baca. Bacaan dilahap seperti makanan cepat saji, tanpa ada waktu untuk mencerna. Hasilnya, kemampuan berpikir kritis pun merosot.

Di sinilah slow reading hadir sebagai penyeimbang. Metode ini mengajak anak untuk memperlambat diri, mengambil jeda, dan merenung. Dengan membaca perlahan, anak-anak tidak hanya diajak memahami kata-kata, tetapi juga makna di baliknya. Mereka belajar sabar, karena hidup bukanlah maraton yang harus dimenangkan dalam hitungan detik, melainkan perjalanan panjang yang butuh pemahaman.

Proses dalam Setiap Paragraf

Dalam setiap proses membaca, ada pelajaran hidup yang terselip. Misalnya, ketika anak-anak membaca Alice's Adventures in Wonderland, mereka tak hanya terhibur oleh petualangan aneh Alice. Di sana, ada pesan tentang ketidakpastian hidup, tentang keberanian untuk mempertanyakan segalanya, bahkan tentang ketakutan yang kadang menghantui kita semua. Pesan-pesan inilah yang ingin kita tanamkan pada anak-anak melalui slow reading.

Dengan membaca perlahan, mereka bisa melihat bahwa hidup ini penuh dengan nuansa, penuh dengan makna tersembunyi yang tak akan bisa mereka tangkap jika mereka terburu-buru. Setiap kalimat, setiap paragraf, adalah kesempatan untuk merenung. Bahkan, dalam buku-buku yang tampak sederhana sekalipun, ada pelajaran besar yang bisa dipetik jika kita mau berhenti sejenak dan berpikir.

Mengajarkan Kesabaran di Era Teknologi

Teknologi mengajarkan kita bahwa segalanya bisa didapatkan dengan cepat. Ingin informasi? Tinggal buka ponsel, ketik di mesin pencari, dan dalam hitungan detik, jawaban ada di tangan. Tapi, apakah kita benar-benar memahami apa yang kita dapatkan? Apakah anak-anak kita mampu mencerna informasi tersebut dengan bijak?

Di era digital ini, slow reading adalah salah satu cara untuk melatih kesabaran. Anak-anak diajak untuk mengerti bahwa tak semua hal bisa didapat dengan cepat. Ada proses yang harus dilalui. Ada waktu yang harus dihabiskan untuk merenung dan memahami.

Psikolog perkembangan anak, Elly Risman, dalam salah satu ceramahnya pernah menyinggung tentang bagaimana era digital membuat anak-anak cenderung menjadi tidak sabar. Mereka ingin semuanya instan, termasuk dalam belajar. Padahal, proses belajar sejatinya adalah proses panjang yang memerlukan ketekunan, bukan hanya sekadar pencapaian cepat.

Slow reading mengajarkan anak-anak bahwa kualitas pemahaman jauh lebih penting daripada seberapa cepat mereka bisa menyelesaikan satu buku. Mereka belajar bahwa kebijaksanaan datang dari pemahaman yang mendalam, bukan dari kecepatan. Dan di sinilah letak kekuatan slow reading.

Menjadi Bijak, Bukan Cepat

Akhirnya, melalui slow reading, kita sedang menanamkan nilai yang jauh lebih dalam kepada anak-anak: pentingnya kebijaksanaan dibanding kecepatan. Dalam hidup, banyak hal yang tak bisa didapat dengan cepat. Proses adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Dan dengan melatih anak-anak untuk membaca perlahan, kita sedang membantu mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang penuh dengan proses panjang.

Slow reading bukan sekadar metode membaca. Ini adalah cara hidup. Ini adalah pengingat bahwa dalam dunia yang serba cepat ini, ada nilai yang lebih berharga dalam berhenti sejenak, merenung, dan memahami. Anak-anak yang dibesarkan dengan kebiasaan slow reading akan tumbuh menjadi generasi yang lebih bijaksana, generasi yang tak hanya mampu memikirkan solusi cepat, tetapi juga mampu memahami akar dari setiap masalah.

Slow reading mengajarkan kita bahwa hidup bukan soal siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling mengerti. Dan dalam dunia yang berlari semakin kencang ini, pelajaran itu menjadi semakin penting dari hari ke hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun