Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang dan peristiwa adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Slow Parenting: Menggenggam Anak dalam Waktu yang Melambat

30 September 2024   06:43 Diperbarui: 30 September 2024   09:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak kecil berdiri di tepi jalan, memandang awan yang berarak pelan di atas kepalanya.

Sementara dunia di sekelilingnya berlari---kendaraan yang bergegas, orang-orang yang tergesa menuju tempat entah apa---ia tetap di sana, tak bergerak. Wajahnya seperti kanvas kosong, memancarkan rasa ingin tahu. Di saat itulah, saya bertanya-tanya, kapan terakhir kali kita, sebagai orang dewasa, berhenti sejenak hanya untuk memandang langit yang berubah warna?

Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, kehidupan berjalan seperti kereta api yang melaju tanpa jeda. Pagi hari adalah deretan rutinitas yang terencana rapi---bangun, berangkat kerja, menjemput anak, menyiapkan makan malam, mengatur waktu tidur, dan keesokan harinya, semuanya terulang kembali. 

Dalam kehidupan yang begitu terburu-buru, anak-anak kerap terseret dalam pusaran yang sama. Mereka dijadwalkan untuk les ini, kursus itu, mengikuti pelatihan, semuanya demi masa depan yang cerah, katanya. Tapi, adakah kita menyadari bahwa dengan terus menjejali mereka dengan harapan dan tuntutan, kita telah merampas masa kini mereka?

Fenomena ini, tanpa kita sadari, adalah sesuatu yang mendunia, namun belakangan menjadi sorotan khusus di Indonesia. Orang tua dari generasi sekarang menghadapi tantangan yang berbeda. Di satu sisi, kita semua menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kita, tetapi di sisi lain, kita justru menekan mereka dengan harapan besar yang dibungkus dalam rutinitas yang padat dan sibuk. Slow parenting, atau pola asuh lambat, hadir sebagai bentuk pemberontakan halus terhadap kehidupan yang penuh keteraturan ini.

Sebuah Gerakan untuk Melambat

Slow parenting adalah sebuah konsep yang sederhana namun penuh makna.

Dalam dunia yang bergerak cepat, ia menyarankan kita untuk berhenti sejenak, mengambil napas, dan memberi ruang pada anak-anak kita untuk berkembang sesuai dengan ritme alami mereka. Bukan ritme yang dipaksakan oleh sistem pendidikan atau ekspektasi masyarakat, tetapi yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri. Ini bukan tentang membiarkan anak lepas tanpa arahan, tetapi lebih kepada memberikan mereka ruang untuk bereksplorasi, belajar, dan menemukan dunia dengan cara mereka sendiri.

Saya teringat pada masa kecil saya, saat sore hari adalah waktu untuk bermain di halaman rumah, berlarian tanpa arah, atau hanya duduk di bawah pohon sembari mendengarkan desiran angin. Orang tua saya tidak pernah terburu-buru membawa saya ke tempat les atau kegiatan ekstrakurikuler. Mereka membiarkan saya menghabiskan waktu dengan cara saya sendiri. Dunia saat itu bergerak lebih lambat, dan masa kanak-kanak terasa lebih panjang.

Namun, dunia telah berubah. Kini, banyak orang tua di Indonesia merasa tertekan oleh harapan bahwa anak-anak mereka harus selalu berada selangkah di depan. Mereka harus unggul di sekolah, menguasai bahasa asing, mahir bermain alat musik, bahkan sebelum mencapai usia remaja. Perasaan bahwa jika mereka tidak memberikan yang terbaik kepada anak-anak mereka, masa depan anak akan terancam, adalah kekhawatiran yang menghantui pikiran banyak orang tua.

Dalam masyarakat yang kian kompetitif, apakah kita telah kehilangan esensi dari apa artinya menjadi anak-anak?

Menghadapi Tantangan Dunia Modern

Tentu saja, slow parenting bukanlah tanpa tantangan. Bagi banyak keluarga di kota besar Indonesia, kehidupan tidak memungkinkan untuk sepenuhnya berhenti dan melambat. Jadwal kerja yang padat, tekanan sosial untuk berprestasi, dan ketidakpastian ekonomi membuat waktu bersama anak-anak terasa seperti barang mewah yang sulit didapat. Di lingkungan perkotaan, di mana setiap anak berlomba untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan pelatihan paling bergengsi, memilih untuk melambat terasa seperti sebuah tindakan yang melawan arus.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua di Jakarta merasa tertekan dengan tanggung jawab yang mereka emban dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka merasa bahwa tuntutan akademis dan sosial membuat mereka harus memberikan waktu lebih untuk memastikan anak-anak mereka siap menghadapi persaingan di masa depan. Namun, di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa semakin padatnya kegiatan anak membuat waktu berkualitas bersama keluarga semakin terkikis.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita, di tengah segala tuntutan ini, menemukan keseimbangan? Bisakah kita sebagai orang tua tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita tanpa kehilangan esensi dari kebahagiaan sederhana masa kecil? Slow parenting tidak menawarkan jawaban mudah, tetapi ia memberikan ruang untuk refleksi.

Momen untuk Mengamati, Bukan Mengontrol

Inti dari slow parenting adalah keyakinan bahwa anak-anak, seperti tanaman yang baru tumbuh, membutuhkan waktu untuk berkembang. Mereka perlu diberi ruang untuk tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka sendiri, tanpa terlalu banyak campur tangan dari orang dewasa. Terkadang, sebagai orang tua, kita cenderung ingin mengontrol setiap aspek kehidupan anak---kapan mereka belajar, bagaimana mereka bermain, dengan siapa mereka berteman. Kita takut mereka akan salah langkah, tersandung, atau tertinggal. Tapi bagaimana jika, dengan terlalu banyak mengatur, kita justru menghalangi mereka untuk menemukan jalan mereka sendiri?

Ada sebuah cerita menarik yang saya dengar dari seorang teman yang tinggal di Bali. Ia menceritakan bagaimana anak-anak di desa tempat ia tinggal sering dibiarkan bermain di sawah, berlarian di antara petak-petak padi, tanpa diawasi terus-menerus oleh orang tua mereka. Orang tua di sana percaya bahwa anak-anak akan belajar dari lingkungan mereka, dari alam, dari interaksi sosial mereka sendiri. Mereka percaya bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran, dan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. "Kami tidak membatasi mereka," katanya, "kami hanya mengamati dari jauh, dan membiarkan mereka menemukan dunia mereka."

Prinsip inilah yang menjadi dasar slow parenting---kita tidak harus selalu mengontrol, kadang kita hanya perlu mengamati. Dan dari pengamatan itu, kita akan belajar lebih banyak tentang anak kita, tentang dunia yang mereka bangun dalam pikiran kecil mereka, dan tentang diri kita sendiri sebagai orang tua.

Masa Kecil yang Tidak Hilang

Slow parenting juga mengingatkan kita pada satu hal penting: bahwa masa kecil anak-anak kita tidak akan kembali. Saat kita terlalu sibuk mempersiapkan mereka untuk masa depan, kita mungkin lupa bahwa masa kini adalah bagian penting dari hidup mereka. Masa kecil adalah masa yang singkat, namun sangat berharga, dan tidak seharusnya dihabiskan dengan tekanan yang tak berkesudahan.

Anak-anak membutuhkan ruang untuk bermimpi, bermain, dan membuat kesalahan. Mereka perlu diberi kesempatan untuk berhenti sejenak, untuk merenung, dan untuk hanya menjadi diri mereka sendiri---bukan versi kecil dari orang dewasa yang kita inginkan. Mereka perlu belajar bahwa dunia tidak harus selalu berjalan cepat, dan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam momen-momen kecil yang sederhana.

Menemukan Keseimbangan dalam Hidup yang Melambat

Pada akhirnya, slow parenting adalah tentang menemukan keseimbangan---antara memberi anak-anak kebebasan untuk tumbuh dan memberikan mereka bimbingan yang mereka butuhkan. Ini bukan tentang membiarkan anak lepas tanpa arah, tetapi tentang memberi mereka waktu untuk menemukan arah mereka sendiri. Di Indonesia, di mana budaya kekeluargaan masih kuat, slow parenting mungkin bisa menjadi cara untuk mengembalikan nilai-nilai kebersamaan yang sering hilang dalam hiruk-pikuk kehidupan modern.

Sebagai orang tua, kita dihadapkan pada banyak pilihan setiap hari---bagaimana kita mendidik anak kita, bagaimana kita membimbing mereka, bagaimana kita mempersiapkan mereka untuk dunia yang keras. Tetapi, mungkin pilihan terbaik yang bisa kita ambil adalah melambat sejenak, mengambil napas, dan membiarkan anak-anak kita menemukan dunia dengan cara mereka sendiri. Mungkin, dengan begitu, kita juga akan menemukan kembali dunia kita yang telah lama hilang di tengah segala kesibukan.

Dan di sanalah, saat langit senja mulai berubah warna, kita bisa berdiri bersama anak-anak kita, memandang awan yang perlahan melintas, tanpa terburu-buru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun