Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Slow Parenting: Menggenggam Anak dalam Waktu yang Melambat

30 September 2024   06:43 Diperbarui: 30 September 2024   09:10 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: beingathinkaholic.com

Sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua di Jakarta merasa tertekan dengan tanggung jawab yang mereka emban dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka merasa bahwa tuntutan akademis dan sosial membuat mereka harus memberikan waktu lebih untuk memastikan anak-anak mereka siap menghadapi persaingan di masa depan. Namun, di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa semakin padatnya kegiatan anak membuat waktu berkualitas bersama keluarga semakin terkikis.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita, di tengah segala tuntutan ini, menemukan keseimbangan? Bisakah kita sebagai orang tua tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita tanpa kehilangan esensi dari kebahagiaan sederhana masa kecil? Slow parenting tidak menawarkan jawaban mudah, tetapi ia memberikan ruang untuk refleksi.

Momen untuk Mengamati, Bukan Mengontrol

Inti dari slow parenting adalah keyakinan bahwa anak-anak, seperti tanaman yang baru tumbuh, membutuhkan waktu untuk berkembang. Mereka perlu diberi ruang untuk tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka sendiri, tanpa terlalu banyak campur tangan dari orang dewasa. Terkadang, sebagai orang tua, kita cenderung ingin mengontrol setiap aspek kehidupan anak---kapan mereka belajar, bagaimana mereka bermain, dengan siapa mereka berteman. Kita takut mereka akan salah langkah, tersandung, atau tertinggal. Tapi bagaimana jika, dengan terlalu banyak mengatur, kita justru menghalangi mereka untuk menemukan jalan mereka sendiri?

Ada sebuah cerita menarik yang saya dengar dari seorang teman yang tinggal di Bali. Ia menceritakan bagaimana anak-anak di desa tempat ia tinggal sering dibiarkan bermain di sawah, berlarian di antara petak-petak padi, tanpa diawasi terus-menerus oleh orang tua mereka. Orang tua di sana percaya bahwa anak-anak akan belajar dari lingkungan mereka, dari alam, dari interaksi sosial mereka sendiri. Mereka percaya bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran, dan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. "Kami tidak membatasi mereka," katanya, "kami hanya mengamati dari jauh, dan membiarkan mereka menemukan dunia mereka."

Prinsip inilah yang menjadi dasar slow parenting---kita tidak harus selalu mengontrol, kadang kita hanya perlu mengamati. Dan dari pengamatan itu, kita akan belajar lebih banyak tentang anak kita, tentang dunia yang mereka bangun dalam pikiran kecil mereka, dan tentang diri kita sendiri sebagai orang tua.

Masa Kecil yang Tidak Hilang

Slow parenting juga mengingatkan kita pada satu hal penting: bahwa masa kecil anak-anak kita tidak akan kembali. Saat kita terlalu sibuk mempersiapkan mereka untuk masa depan, kita mungkin lupa bahwa masa kini adalah bagian penting dari hidup mereka. Masa kecil adalah masa yang singkat, namun sangat berharga, dan tidak seharusnya dihabiskan dengan tekanan yang tak berkesudahan.

Anak-anak membutuhkan ruang untuk bermimpi, bermain, dan membuat kesalahan. Mereka perlu diberi kesempatan untuk berhenti sejenak, untuk merenung, dan untuk hanya menjadi diri mereka sendiri---bukan versi kecil dari orang dewasa yang kita inginkan. Mereka perlu belajar bahwa dunia tidak harus selalu berjalan cepat, dan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam momen-momen kecil yang sederhana.

Menemukan Keseimbangan dalam Hidup yang Melambat

Pada akhirnya, slow parenting adalah tentang menemukan keseimbangan---antara memberi anak-anak kebebasan untuk tumbuh dan memberikan mereka bimbingan yang mereka butuhkan. Ini bukan tentang membiarkan anak lepas tanpa arah, tetapi tentang memberi mereka waktu untuk menemukan arah mereka sendiri. Di Indonesia, di mana budaya kekeluargaan masih kuat, slow parenting mungkin bisa menjadi cara untuk mengembalikan nilai-nilai kebersamaan yang sering hilang dalam hiruk-pikuk kehidupan modern.

Sebagai orang tua, kita dihadapkan pada banyak pilihan setiap hari---bagaimana kita mendidik anak kita, bagaimana kita membimbing mereka, bagaimana kita mempersiapkan mereka untuk dunia yang keras. Tetapi, mungkin pilihan terbaik yang bisa kita ambil adalah melambat sejenak, mengambil napas, dan membiarkan anak-anak kita menemukan dunia dengan cara mereka sendiri. Mungkin, dengan begitu, kita juga akan menemukan kembali dunia kita yang telah lama hilang di tengah segala kesibukan.

Dan di sanalah, saat langit senja mulai berubah warna, kita bisa berdiri bersama anak-anak kita, memandang awan yang perlahan melintas, tanpa terburu-buru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun