anak kecil berdiri di tepi jalan, memandang awan yang berarak pelan di atas kepalanya.
SeorangSementara dunia di sekelilingnya berlari---kendaraan yang bergegas, orang-orang yang tergesa menuju tempat entah apa---ia tetap di sana, tak bergerak. Wajahnya seperti kanvas kosong, memancarkan rasa ingin tahu. Di saat itulah, saya bertanya-tanya, kapan terakhir kali kita, sebagai orang dewasa, berhenti sejenak hanya untuk memandang langit yang berubah warna?
Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, kehidupan berjalan seperti kereta api yang melaju tanpa jeda. Pagi hari adalah deretan rutinitas yang terencana rapi---bangun, berangkat kerja, menjemput anak, menyiapkan makan malam, mengatur waktu tidur, dan keesokan harinya, semuanya terulang kembali.Â
Dalam kehidupan yang begitu terburu-buru, anak-anak kerap terseret dalam pusaran yang sama. Mereka dijadwalkan untuk les ini, kursus itu, mengikuti pelatihan, semuanya demi masa depan yang cerah, katanya. Tapi, adakah kita menyadari bahwa dengan terus menjejali mereka dengan harapan dan tuntutan, kita telah merampas masa kini mereka?
Fenomena ini, tanpa kita sadari, adalah sesuatu yang mendunia, namun belakangan menjadi sorotan khusus di Indonesia. Orang tua dari generasi sekarang menghadapi tantangan yang berbeda. Di satu sisi, kita semua menginginkan yang terbaik bagi anak-anak kita, tetapi di sisi lain, kita justru menekan mereka dengan harapan besar yang dibungkus dalam rutinitas yang padat dan sibuk. Slow parenting, atau pola asuh lambat, hadir sebagai bentuk pemberontakan halus terhadap kehidupan yang penuh keteraturan ini.
Sebuah Gerakan untuk Melambat
Slow parenting adalah sebuah konsep yang sederhana namun penuh makna.
Dalam dunia yang bergerak cepat, ia menyarankan kita untuk berhenti sejenak, mengambil napas, dan memberi ruang pada anak-anak kita untuk berkembang sesuai dengan ritme alami mereka. Bukan ritme yang dipaksakan oleh sistem pendidikan atau ekspektasi masyarakat, tetapi yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri. Ini bukan tentang membiarkan anak lepas tanpa arahan, tetapi lebih kepada memberikan mereka ruang untuk bereksplorasi, belajar, dan menemukan dunia dengan cara mereka sendiri.
Saya teringat pada masa kecil saya, saat sore hari adalah waktu untuk bermain di halaman rumah, berlarian tanpa arah, atau hanya duduk di bawah pohon sembari mendengarkan desiran angin. Orang tua saya tidak pernah terburu-buru membawa saya ke tempat les atau kegiatan ekstrakurikuler. Mereka membiarkan saya menghabiskan waktu dengan cara saya sendiri. Dunia saat itu bergerak lebih lambat, dan masa kanak-kanak terasa lebih panjang.
Namun, dunia telah berubah. Kini, banyak orang tua di Indonesia merasa tertekan oleh harapan bahwa anak-anak mereka harus selalu berada selangkah di depan. Mereka harus unggul di sekolah, menguasai bahasa asing, mahir bermain alat musik, bahkan sebelum mencapai usia remaja. Perasaan bahwa jika mereka tidak memberikan yang terbaik kepada anak-anak mereka, masa depan anak akan terancam, adalah kekhawatiran yang menghantui pikiran banyak orang tua.
Dalam masyarakat yang kian kompetitif, apakah kita telah kehilangan esensi dari apa artinya menjadi anak-anak?
Menghadapi Tantangan Dunia Modern
Tentu saja, slow parenting bukanlah tanpa tantangan. Bagi banyak keluarga di kota besar Indonesia, kehidupan tidak memungkinkan untuk sepenuhnya berhenti dan melambat. Jadwal kerja yang padat, tekanan sosial untuk berprestasi, dan ketidakpastian ekonomi membuat waktu bersama anak-anak terasa seperti barang mewah yang sulit didapat. Di lingkungan perkotaan, di mana setiap anak berlomba untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan pelatihan paling bergengsi, memilih untuk melambat terasa seperti sebuah tindakan yang melawan arus.